Hati Yang Tak Bersamaku
Sudah sekitar beberapa menit aku berada di sampingmu untuk mencuri pandangku pada wajahmu yang sedari aku melihatmu saat aku masuk toko buku yang terkenal menyediakan semua jenis buku yang aku inginkan. Kamu terlihat serius membaca buku yang mungkin ingin kamu beli, atau mungkin kamu hanya ingin membacanya saja. Dari penampilanmu dan jenis buku yang kamu baca, aku mencoba menerka tentang siapa dirimu; seorang mahasiswi jurusan sastra atau semacamnya. Kamu juga tak terlihat memakai baju yang mewah dan bahkan pakaianmu terlihat sederhana dengan kacamata lebar yang menghiasi wajahmu. Mungkin kamu seorang yang bisa dikatakan cupu atau juga semacamnya, namun kamu begitu manis saat tersenyum membaca tulisan di dalam buku itu. Aku pikir itu semacam buku novel komedi atau percintaan yang lucu. Entahlah, tapi yang jelas aku merasa tenang saat melihatmu.
"Kenapa mas memandangku? Apa aku terlihat aneh karena menghabiskan waktuku berlama-lama membaca buku ini?"
Jujur, itu sangat membuatku kaget setengah mati dan bahkan setelah aku membuang mukaku darimu pun tak menghilangkan rasa maluku padamu.
"Maaf, bukan maksudku kurang ajar sama mbak. Aku cuma..." Kataku gugup.
"Cuma apa? Cuma terpesona dengan wajahku?" Sahutmu tanpa ragu sampai aku tak bisa berkata apa-apa.
"Maaf" hanya itu yang bisa terucap dari bibirku.
"Tak perlu minta maaf. Memang sudah naluri laki-laki melihat seorang yang cantik sampai seperti itu" katamu dengan senyum yang benar-benar manis. Bahkan lebih manis ketimbang senyummu beberapa menit yang lalu.
Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi setelah melihat senyumnya. Tapi aku benar-benar ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Juga melihat senyummu.
"Apa kamu senang membaca novel?" Tanyaku dengan sedikit keberanian diri yang kupaksakan.
"Emmm, entahlah. Aku senang membaca buku, bukan hanya novel. Aku lebih senang membaca buku yang bersifat non-fiksi seperti sejarah, kebudayaan atau mungkin motivasi hidup. Namun, terkadang aku juga membaca novel atau cerpen untuk memperkaya imajinasiku saat menulis."
"Apa kamu seorang penulis?" Tanyaku spontan.
"Yaaa, gak tahu. Hanya saja, aku senang menulis dengan isi cerita yang sering aku alami. Namun tak semuanya aku tulis, hanya sebagian kecil dengan karakter yang berbeda." Jawabmu dengan sedikit antusias yang terlihat jelas di wajahmu.
"Wah, apa tulisan kamu sudah kamu bukukan. Seperti novel, mungkin?"
"Belum, tapi aku berharap ada orang yang mau membaca tulisanku suatu hari nanti ketika..."
"Aku mau jadi orang itu. Ya, mungkin lebih tepatnya jadi orang pertama yang membaca tulisanmu."
"Hehehe, kamu aneh." Katamu dengan ketawa yang begitu anggun
"Aneh kenapa, apa aku tak pantas?" Tanyaku dengan sedikit kecewa.
"Bukan, bukan seperti itu. Tapi kamu baru saja kenal denganku dan sekarang menawarkan diri untuk menjadi orang pertama yang ingin membaca tulisanku."
"Baiklah, aku harap besok dan seterusnya kita akan bertemu lagi di sini atau mungkin di tempat lain agar aku tak lagi sebagai orang yang baru untukmu ketika kita sering bertemu. Gimana?" Tawarku padamu.
"Eemm, boleh. Tapi aku tak ingin kita bertukar nomor atau saling tahu di mana kita tinggal ya?"
"Kenapa seperti itu?" Tanyaku penasaran.
"Karena itu yang bisa meyakinkanku bahwa kamu memang orang yang pantas untuk menjadi yang pertama membaca tulisanku." Jawabmu yang aku anggap memang masuk akal.
"Baiklah, kita pasti akan bertemu dan mungkin akan sering bertemu." Kataku padamu dengan kepercayaan diriku yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya.
"Okey, aku sering datang ke sini. Tapi tak setiap hari aku berkunjung ke tempat ini. Kalau kamu beruntung, kamu pasti menemukanku."
"Aku pasti menemukanmu" kataku dengan yakin.
"Amel, udah? Ayo pulang. Udah sore ini" kata seorang wanita paruh baya dengan menenteng keresek isi belanjaannya saat menghampiri wanita yang sedang aku ajak bicara.
"Iya ma, bentar" sahutmu pada mamamu
"Aku pulang dulu ya. Terima kasih udah ajak aku ngobrol. Sampai jumpa." katamu saat ingin meninggalkanku dengan seribu tanya yang masih belum terucap dari bibirku untukmu.
Kalimat perpisahan itu belum sama sekali membuatku puas dengan obrolan kita waktu itu. Jadi kuputuskan saat itu juga, aku akan terus menemukanmu sampai aku puas dengan perjumpaan kita.
Empat hari setelah pertemuan kita, hari ini aku bertemu denganmu di tempat yang sama yang sebelumnya aku setiap hari datang ke sini. Namun aku tak menemukanmu.
"Akhirnya kamu datang"
"Kenapa wajah kamu seperti itu?" Tanyamu.
"Memang wajahku kenapa?" Sahutku dengan tanganku meraba-raba wajahku.
"Hehehe, enggak. Bukan wajah kamu berubah, cuma ekspresi wajah kamu seperti wajah bahagia karena bertemu dengan orang yang kamu rindu.
Iya, aku memang merindukanmu. Bahkan aku terus memikirkanmu saat aku tak bisa menemukanmu, Amel.
"Ya bukan gitu. Karena kita kan udah janjian kalau kita akan bertemu di sini. Bahkan aku setiap hari datang ke sini tapi baru hari ini aku bertemu denganmu lagi. Aku kira kamu lupa, ternyata kamu datang. Aku sedikit lega" kataku mencoba untuk membuat sebuah pembelaan.
"Hahaha iya iyaaa, aku tak akan mengingkari janjiku ataupun menipumu kok. Tapi aku kan sudah bilang, kalau aku tak setiap hari datang ke sini."
Aku tak lupa, aku hanya mencoba untuk sesering mungkin bertemu denganmu meskipun aku harus mencuri waktuku setiap hari datang ke sini untuk bertemu denganmu. bahkan meskipun aku harus rela waktuku itu terbuang percuma karena tak menemukanmu.
"Oh iya aku lupa, kita kan belum berkenalan. Kenalin namaku Amel. Kamu?"
Aku benar-benar lupa kalau aku belum memperkenalkan namaku padamu. Mungkin karena aku sudah mendapatkan nama kamu dari ibu kamu yang saat itu memanggilmu dengan nama itu dan juga aku terlalu terpesona denganmu sampai-sampai aku lupa kalau aku juga punya nama yang harus kamu ingat.
"Namaku Sandy."
"Sandy? Kaya nama cewek ya hehehe"
"Cewek? Ya enggak lah. Kalau cewek itu namanya mungkin Sendy atau Sindy." Kataku menggerutu.
"Hahaha iyaa, bercanda. Yaudah kamu mau temani aku berkeliling mencari alat tulis di lantai bawah?"
"Boleh, tapi buat apa kamu beli alat tulis?"
"Udah ikut aja"
Aku tak mempercayai ini. Saat ini, aku sedang berada di samping wanita yang mencuri perhatian mataku. Aku juga tak tahu, kenapa aku sampai terbuai dengan diorama ini. Berdua denganmu.
Di toko peralatan tulis, aku sekali lagi melihat wajah yang empat hari kemarin membuatku terpesona. Mungkin lebih tepatnya jatuh hati. Kamu tersenyum saat menemukan sebuah pena dengan ornamen yang lucu. Menurutmu.
"Aku mau beli yang ini, aku suka"
Sungguh, Amel. Pada saat kamu menunjukkan wajah bahagia dan senyummu yang berkali-kali lipat lebih manis itu, jantungku seperti ingin keluar dari tubuhku. Rasanya sangat sakit, tapi aku bahagia. Aku benar-benar mencintaimu saat itu.
"Kapan-kapan lagi temani aku lagi ya" katamu sore itu saat ibumu sudah memberi aba-aba pada kita untuk segera berpisah.
"Iya, aku akan selalu temani kamu sampai kamu bosan aku temani"
"Hehehe gombal. Tapi... Terima kasih ya. Aku belum pernah bertemu laki-laki aneh seperti kamu dalam hidupku. Aku sangat bersyukur. Aku ingin hidup seribu tahun lagi agar bisa terus bertemu denganmu, Sandy."
Aku juga, bahkan aku lebih bersyukur karena Tuhan mempertemukan aku dengan wanita sepertimu, Amel. Aku akan hidup seribu tahun juga untuk mengabulkan keinginanmu.
Sebenarnya, aku ingin mengungkapkan rasaku padamu waktu itu. Aku tak hanya senang, tapi aku juga mencintaimu. Namun, aku tak berani untuk mengungkapkannya. Karena aku pikir, ini pertemuan yang singkat untuk menyimpulkan bahwa rasa ini memang benar-benar apa yang disebut dengan jatuh cinta.
Sayangnya, aku terus memikirkan ini bahkan saat wajahmu telah lenyap dari jangkauan mataku. Kini, rasa yang ada dalam hatiku seperti ingin meluap saat aku jauh darimu. Aku tak bisa menahan ini, aku telah memutuskan untuk menyatakan rasaku saat aku bertemu denganmu nanti.
Satu minggu setelah perjumpaan terakhir kita.
"Tante? Tante mamanya Amel kan? Sudah seminggu ini Amel gak datang ke sini. Apakah Amel sedang sakit?
"Kamu Sandy yang sering ketemu Amel di sini kan?"
"Iya, te"
"Amel sering bicarain kamu ke tante. Dia belum pernah sebahagia itu seumur hidupnya. Kamu beri Amel senyum yang tante rindu sejak dulu. Senyum yang selalu terlukis di wajahnya sebelum kanker telah merenggutnya dari Amel."
"Kanker? Maksud tante?"
"Dia sudah meninggal. Dua hari setelah bertemu denganmu. Sebelum meninggal, Amel ingin memberi surat ini pada kamu"
Aku membaca isi surat darimu, tak kutemukan rasa bahagia saat membaca tulisan darimu. Hanya sesal yang tak dapat kulupakan saat membaca surat itu. Kamu tak pernah tahu rasaku padamu.
"........
.......
Sebenarnya aku jatuh cinta sama kamu San, namun aku takut kamu hanya akan mengasihaniku karena penyakitku. Lebih baik aku menyatakannya padamu saat aku tak perlu lagi rasa kasihan dari orang lain. Bahkan dari kamu; laki-laki yang aku cintai. Aku sangat mencintaimu. Aku berharap bisa hidup seribu tahun lagi bersamamu. Namun Tuhan tak memberi lagi waktu untukku.
NB: Wanita juga bisa jatuh cinta lebih cepat dari laki-laki loo. Contohnya AKU.. hehehe"
Aku tak menyadari, bahwa kamu ingin hidup seribu tahun lagi adalah pesan untukku bahwa kamu tak akan hidup untuk waktu yang lama bersamaku. Aku menyesal karena aku tak mengungkapkan rasaku padamu waktu itu, Amel. Aku sungguh menyesal.
By. Saimo Am-Mattobi'i