Senin, 19 November 2018

Sebuah Nama (Rahmah)

Namaku Rahmah, orang tuaku memberikan namaku itu dengan harapan Tuhan akan senantiasa memberikan belas kasih-Nya padaku. Ada alasan lain yang membuat ayahku menyematkan nama itu dalam dadaku. Cerita di balik nama itu tak habis-habisnya membuatku takjub dengan ayahku yang terlihat selalu bahagia ketika melihat kehadiranku.

Suatu hari, aku dan ayah duduk di sebuah taman yang selalu kita kunjungi setiap akhir pekan. Saat menjelang siang sebelum adzan berkumandang, kami akan pergi ke suatu surau kecil di mana aku selalu merasa tak asing untuk mengunjunginya bahkan saat pertama kali berkunjung ke sana.

Adzan berkumandang, yang aku lihat dari ayahku adalah kekhidmatan yang tak pernah luntur saat mendengar dengung suara yang mentakbirkan nama Tuhan. Waktu untuk menghadapkan wajah kami kepada Tuhan tiba. Aku tak dapat merapatkan badanku kepada ayah karena kami berada di sekat yang berbeda. Akhirnya, salam terakhir dari pemimpin makmumpun terucap dan sebagian orang menghajatkan semua keinginan mereka. Begitupun aku yang menginginkan agar Tuhan memberikan kehidupan yang layak untuk hidup kami berdua.

Dua menit bahkan lima menit kemudian, orang-orang yang semula bershaf-shaf kini semakin merenggang bahkan hilang sama sekali. Namun aku lihat, ayah tak kunjung bangkit dan bahkan dia terus bermunajat di atas tempat duduknya. Itu yang membuatku semakin sayang kepadanya, dan berharap akan menemukan sosok lelaki yang akan menggantikan ayahku; paling tidak menyamainya. Aku semakin penasaran tentang kisah percintaan ayahku dan almarhum bundaku yang meninggalkan kami sejak aku berumur 7 hari. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, tentang bagaimana bunda bisa jatuh hati kepada ayah.

Akhirnya setelah kurang lebih dari sepuluh menit, ayahku menyelesaikan keluh kesahnya pada Tuhan dan langsung menemuiku yang sejak tadi berada di teras surau sambil memandang ayahku dari tempat dia duduk sampai melangkahkan kakinya kepadaku.

"Maaf ya sayang, ayah terlalu lama berdoa" kata ayahku sambil tersenyum melihat wajahku yang sedikit terlihat bosan menunggu ayah.

"Gak apa-apa kok yah, Rahmah seneng liat ayah berdoa kok" kataku sambil membalas senyum hangat dari ayahku.

"Langsung pulang atau kamu pengen ngobrol sama ayah? sambil duduk-duduk di sini?" kata ayah yang tiba-tiba seperti membaca pikiranku yang sejak tadi terngiang-ngiang dalam otak.

"Emmmm, yah. Aku pengen tanya sama ayah boleh gak?" tanyaku sambil mataku tak lepas melihat ayah menurunkan badannya untuk duduk.

"Ya boleh dong sayang, kaya sama presiden aja sampai kamu tanyanya gitu." canda ayah mencoba membuyarkan rasaku yang memang sedikit agak tegang saat ingin menanyakan sesuatu hal yang sesikit sensitif untuk ayah.

"Ayah mau gak, menceritakan tentang percintaan ayah sama bunda. Dari awal ayah sama bunda bertemu sampai bunda meninggalkan kita berdua untuk selamanya?"

"Sayang, bunda gak meninggalkan kita untuk selamanya kok. Nanti juga kita bakal ketemu lagi di dalam surga, insya Allah"

"Iya maksudku gitu yah hehehe"

Ayah memandang langit dan menghela nafas panjang untuk memulai cerita tentang cinta antara ayah dan bunda.

"Kamu tahu, kenapa kamu selalu aku ajak ke taman dan surau kecil ini, sayang?"

"Pasti ada hubungannya sama bunda ya?" tanyaku mencoba menafsirkannya.

"Iya sayang. Awal mulanya, ayah bukan seorang laki-laki yang sangat tekun beribadah. Yah, bisa dikatakan ayah dulu ibadahnya bolong-bolong bahkan terkadang ayah suka meninggalkan sholat, yang paling parah senang berfoya-foya."

Cerita ayah sejenak terhenti untuk sekedar melihat ekspresi di wajahku saat mendengar kisah kelam masa lalu ayah. Yah memang agak kecewa ketika mendengar itu tapi akupun tak bisa menolak cerita yang sudah terlanjur terangkai.

"Ya, meskipun masa lalu ayah seperti itu. Ayah masih ingat siapa Tuhan yang harus ayah yakini." kata ayah mencoba mengambil hatiku yang sedikit kecewa tadi.

"Suatu hari, ayah pergi ke taman yang kita selalu pergi ke sana dalam keadaan kalut ketika ayah memiliki masalah kehidupan yang berat. Ayah sempat menangis dan meratap di atas kursi taman. Saat ayah menundukkan kepala ayah agar tangisan ayah tak dapat dilihat oleh orang banyak, ayah mendengar suara wanita yang sejak tadi duduk di samping ayah dan melantunkan ayat suci Al-Quran. Dia adalah bunda yang sedang menghafalkan surat Ar-Rahman. Bunda kamu mempunyai suara yang indah yang membuat hati ayah semakin meluruh dan menjadi sedikit tenang. Ayah mendengar setiap ayat yang bunda kamu baca dengan sepenuh hati sambil mencoba mencari sebuah alasan kenapa hidup ayah selalu penuh dengan cobaan. Sebenarnya ayahpun tak pernah menduga bahwa wanita itu suatu hari bakal menjadi istri ayah dan bunda kamu karena ayahpun tak pernah berpikir wanita seperti bunda menyukai ayah yang tak pernah basah bibirnya untuk melantunkan ayat Al-Quran."

Ayah berhenti sejenak untuk kesekian kalinya dan sedikit tersenyum ketika mengingat-ingat kisah lama yang mungkin selalu ayah simpan untuk nanti diceritakan kepada bunda di surga tentang betapa bahagianya ayah mendapatkan wanita seperti bunda yang akupun tak pernah tahu mengenai dia.

"Bunda waktu itu tiba-tiba mengehentikan hafalannya sejenak untuk sekedar menyapa ayah yang sejak tadi memandang bunda dan mendengarkan suara bunda. Bunda memberi senyum yang indah yang belum pernah ayah lihat sebelumnya dan tak ada yang bisa menandingi senyum indah bunda selain senyum kamu, sayang."

Ayah benar-benar seorang laki-laki yang romantis. Bahkan akupun tersipu mendengar kata-kata ayah. Akupun mungkin tak kaget kalau bubda bisa jatuh hati pada ayah. Tapi kata-kata romantis ayah bukanlah alasan kenapa bunda bisa jauh hati pada ayah. Justru kesungguhan ayahlah yang membuat bunda jatuh hati.

"Ayah gak tahu ketika bunda kamu pergi dari tempat duduknya, ayah kembali lagi seperti keadaan ayah sebelumnya. Rasanya rasa kalut yang tadi menghilang tiba-tiba menusuk-nusuk hati dan otak ayah. Ketika itu hari menjelang siang, akhirnya ayah memutuskan untuk mencari tempat ibadah yang dekat dengan taman itu. Sampailah ayah di surau kecil tempat kita duduk ini, ayah bertemu lagi dengan bunda yang memang setiap hari bunda kamu selalu datang ke sini saat menjelang siang."

"Ciye ayah pasti stalking bunda ya dulu sampai-sampai ayah tahu kalau bundang sering ke sini? Hehehe" candaku ke ayah.

"Ya bukan, sayang. Ayah tahu karena ketika itu ayah memang kos di depan sini, dekat surau ini. Tapi memang ayah sangat jarang ke sini sebelum ayah ketemu dengan bunda. Dan bukan karena alasan ingin bertemu dengan bunda, ayah datang ke sini. Itu karena kebiasaan ayah yang ketika mengalami masalah selalu pergi ke tempat yang mungkin bisa membuat hati ayah semakin tenang. Dan kebetulan hanya surau ini yang dekat dengan tempat tinggal ayah." kata ayah mencoba menepis candaanku.

"Setelah hari itu, ayah semakin sering bertemu dengan bunda kamu dan terkadang ayah harus mencuri dengar ketika bunda kamu melantunkan ayat Al-Quran setelah selesai bermunajat. Ya memang sih, ayah kelihatannya sedikit penasaran dengan bunda kamu tapi ayah tak pernah berani mengajak berbicara bunda. Tapi suatu ketika, saat ayah mencoba membaca Al-Quran karena ayah berpikir kalau hanya mendengar saja belum cukup untuk menenangkan hati ayah. Dengan sedikit terbata-bata ayah membaca setiap ayat dalam Al-Quran itu dan kebetulan ayah membaca surat Ar-Rahman yang tak sengaja ayah buka karena ayah membuka mushafnya secara acak. Saat di ayat yang ayah lupa ayat apa itu, tiba-tiba ada suara yang membetulkan bacaan ayah. Dia bunda, yang sejak tadi ternyata mendengar ayah membaca. Akhirnya ayah tak melanjutkan membacanya dan diam karena malu."

"Tiba-tiba bunda bilang, 'kok berhenti mas, lanjutin'. Ayah jawab malu kepada bunda dan ayah menutup mushafnya. Melihat ayah menutup mushaf itu, bunda kamu berkata, 'yaudah aku gak akan dengerin dan benerin atau mungkin aku pergi aja biar mas gak malu ya hehehe'. Tapi ayah langsung  mengatakan pada bunda untuk tetap di situ dan mengatakan kalau ayah akan membacanya lagi bahkan ayah minta agar bunda mengoreksi bacaan yang salah. Akhirnya, bundapun mau dan mendengarkan lantunan bacaanku di dekatnya. Setelah selesai membaca surat itu, ayah mengucapkan terima kasih pada bunda dan meminta bunda agar senantiasa menemani ayah ketika ayah membaca mushaf di surau ini. Ayah juga gak tahu kenapa semuanya terlihat mudah, bunda kamu mau karena menurut bunda kamu orang yang ingin belajar Al-Quran wajib dibantu."

"Bunda wanita yang baik ya yah, sayang Rahmah belum pernah ketemu sama bunda ketika Rahmah udah besar" kataku sedikit merasa kecewa.

"Enggak, sayang. Sebenarnya bunda kamu masih ada dan hidup dalam hati kamu bahkan wajah bunda kamu tergambar di atas wajah kamu. Ketika ayah memandangmu, ayah merasa bahwa yang ayah pandang adalah bunda."

"Ya mungkin wajah Rahmah mirip sama bunda, tapi kebaikan bunda gak sama dengan apa yang Rahmah lakuin"

"Memang tingkah laku kalian berbeda tapi ayah harap kamu bisa lebih daripada bunda. Agar laki-laki yang datang menemuimu kelak merasa beruntung seperti apa yang ayah rasakan. Ayah ingin kamu jadi sebuah mutiara yang sangat berharga sehingga kamu bisa menjatuhkan hati kamu kepada laki-laki yang pantas memilikinya"

"Iya yah. Lanjutkan dong yah"

"Nah, akhirnya karena seringnya kita bertemu di surau ini. Tumbuh rasa yang sama di antara hati ayah dan bunda kamu. Namun saat itu, bunda kamu telah dijodohkan dengan laki-laki lain meskipun laki-laki itu belum menanyakannya pada bunda. kakek sama nenek sebenarnya tak menentang hubungan kami tapi karena saat itu janji telah disepakati dari pihak orang tua bunda, mereka hanya menunggu kepastian dari bunda. Akhirnya ketika laki-laki itu menayakannya langsung pada bunda, bunda kamu menolak tapi bukan karena ayah alasannya yang bunda kamu katakan karena mungkin ingin menjaga perasaan laki-laki itu.  Selain itu juga, bunda kamu belum siap untuk menikah. Akhirnya ayah menunggu bunda selama dua tahun dan selama masa menunggu itu, bunda meminta ayah untuk menghafalkan surat yang pertama kali ayah dengarkan ketika pertama kali bertemu dan juga bermunajat di dalam surau selama yang ayah bisa sembari memohon agar bunda menjadi istri ayah. Memang, ayah bisa menyelesaikan hafalan itu sampai satu setengah tahun karena kesibukan ayah pada pekerjaan ayah tapi ayah tak lupa untuk berlama-lama bermunajat karena memang ayah membutuhkan bantuan dari Tuhan saat itu. Setelah hitungan dua tahun berakhir, ayah melamarnya bersama dengan kedua orang tua ayah dengan membawa hafalan surat Ar-Rahman di depan kakek sama nenek kamu. Setelah itu, ayah mengucapkan ijab qabul ayah dengan kakek. Akhirnya kamipun menjadi suami istri. Yah meskipun cuma sebentar bersama dengan bunda karena bunda ternyata mengidap kanker otak stadium 4 yang memang selama dua tahun itu bunda pergunakan untuk mencoba mengobati penyakitnya tapi tak pernah berhasil. Untunglah sebelum bunda kamu pergi meninggalkan ayah, bunda menitipkan perasaan bunda pada ayah dengan menghadirkan kamu, sayang. Nama Rahmah itu diberikan langsung oleh bunda sebagai hadiah karena ayah bisa menghafalkan surat itu dan juga sebagai pengingat ayah bahwa surat itu yang membawaku kepada bunda. Selain itu, nama itu berarti belas kasih yang diberikan Tuhan kepada ayah yang selalu mencoba bersabar dalam menghadapi permasalahan ayah termasuk kesedihan ayah saat kehilangan bunda. Dan semenjak ayah kenal dengan bunda, ayah tak pernah meninggalkan kewajiban ayah untuk beribadah serta apa yang ayah lakukan sekarang itu semata-mata karena kehadiran bunda di dalam kehidupan ayah. Dan setiap melihat kamu, seakan-akan bunda selalu mengawasi ayah agar tak lupa untuk menjalankan kewajiban ayah untuk menjaga diri ayah dan kamu sehingga nanti kita bisa berkumpul kembali di dalam surga."

Sungguh saat mendengar cerita dari ayah, aku ingin sekali menjadi wanita yang sangat baik seperti bunda. Melihat perjuangan ayah sampai sini, aku tak mungkin untuk mengecewakan mereka berdua. Aku berharap bisa mengukir cerita yang indah dengan lelaki yang membawa kabar gembira padaku.

Rahmah bukan hanya seuntai nama yabg tak berarti, tapi juga sebuah judul dari sebuah cerita. Nama yang indah dan juga perasaan dari dua insan yang terlukis di dalamnya.

By. Saimo Am-Mattobi'i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar