Emperan Seni
"To, menurutmu kita ini sudah jadi musisi atau seniman apa belum?" Tanya Sungep ke Pranyoto.
"Ya sudah dua-duanya lah, Ngep. Kenapa kamu tanya gitu? Udah kaya Host yang kondang di Mata Najwa itu aja" jawab Pranyoto ke Sungep.
"Yo ndak gitu. Aku itu tiba-tiba kepikiran. Kan biasanya nih ya. Di TV-TV itu mesti nyebut orang yang ngeband atau penyanyi solo dengan sebutan musisi, bukan seniman." Tanya Sungep sedikit kritis ke Pranyoto.
"Lha yo ngapain kamu mikirin hal gituan. Lebih enak mikirin, gimana caranya biar Lastri bisa kepincut ke aku dan Tomblok naksir ke kamu. Masalah mereka disebut musisi atau seniman ya haknya yang nyebut to. Lagian gak salah mereka menyebut para Band kondang dan juga penyanyi-penyanyi cantik itu dengan sebutan musisi atau seniman." Jawab Pranyoto lebih kritis ketimbang Sungep.
"Menurutmu, seniman iku gimana sih?" Tanya Sungep lagi ke Pranyoto.
"Lek menurutku yo Ngep. Seniman itu adalah orang yang menggeluti dunia seni, baik seni musik, seni rupa atau seni tari. Mereka itulah yang disebut seniman." Pencerahan Pranyoto ke Sungep yang secara menggebu-gebu mendramatisir penjelasannya layaknya seorang pujangga di atas panggung emperan.
Mata Sungep berkaca-kaca. Kakinya seakan jatuh tertimpa tangga. Tak bisa bergerak sepertinya, Akibat ulah Pranyoto yang ternyata memukau orang-orang yang berjalan di depan rumahnya. Pun ayah dan ibunya yang sejak tadi mengintip pembicaraan tak penting dari kedua pemuda itu.
"Seni iku Ngep yo, adalah keahlian membuat karya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusannya dan keindahannya. Itu menurut kamus besar Indonesia. Sedangkan menurut Dr. Sudarmadji, Seni adalah segala manifestasi batin dan pengalaman estetis dengan menggunakan media bidang,garis,warna,tekstur,volume dan gelap terang." Penjelasan terusannya Pranyoto dengan mengintip tulisannya Mbah Google di HP miliknya.
"Tapi aku ndak begitu cocok kalau seni itu digunakan dalam kata 'Air Seni' Ngep. Alasannya ya, seni itu ya yang aku jelasin tadi lo, ada unsur estetisnya dan juga manifestasi batinnya, tadi. Aku lebih cocok kalau jadi 'Seni Air', itu bisa klop dengan arti seni itu sendiri. Ada ungkapan rasa dan kemampuan dalam membuat sebuah karya. Bayangkan saja, kalau 'Air Seni' itu dirubah menjadi 'Seni Air'. Orang-orang maupun anjing bisa lebih menghayati ungkapan rasa mereka yang tak tertahankan untuk keluar menjadi karya. Contohnya kamu ya Ngep, kamu nanti bisa lebih menghargai pipis kamu yang kamu buang ketika pipis kamu menjadi sebuah karya seni. Sedangkan 'Air Seni' itu tak memberikan penghargaan kepada seni itu sendiri. Itu sama halnya kaya Air comberan, yang harus dibuang tanpa memberikan penghargaan kepada comberan itu. Karena Comberan itu adalah sesuatu yang menjijikkan. Coba kamu pikir, enak mana bilang 'Aku mau buang air seni' dengan 'Aku pengen melakukan Seni Air'? Lebih enak 'Seni Air' kan? Itu bahkan akan memberi kesan bahwa Seni itu harus menjadi artian yang bagus dimanapun tempat kata Seni itu digunakan ataupun gigabungkan dengan kata yang lain." Penjelasan Pranyoto yang bahkan jauh lebih mutakhir dari sebelumnya, sampai-sampai kedua orang tua Pranyoto menangis tak henti-hentinya akibat ulah anaknya lagi.
"Kamu ngomong apa To To, aku malah ndak dong. Ini tadi masalah musisi kok malah njlentrek ke 'Air Seni' 'Seni Air' lah lah! Kamu kok semakin kayak orang stres gara-gara Lastri ndang ndak bisa kamu dapetin. Apa kamu juga pengen, membuat sebuah 'Seni Air' di depannya Lastri? Kan ndak mungkin to? Ya soalnya memang pipis kamu ndak ada estetisnya atau unsur keindahannya. Bahkan ketika kamu keluarin alatnya saja, sudah bikin Lastri lari ketakutan. Dikira kamu mau Ngendoki dia."
"Ya ndak gitu, Ngep. Maksudku itu ya...."
Pembicaraan mereka semakin tak bisa diterima oleh kata. Bahkan kata-kata mereka saja sulit untuk dituliskan di sini saking njelimetnya.
Setelah beberapa abad berlalu, perdebatan Pranyoto dan Sungep tak kunjung disudahi di emperan itu.
Lantas, datanglah Doleh yang sudah menenteng Kanvas yang dibungkus apik dengan kertas koran berita "Seputar Nggalek Ae". Korannya agak kisut. Ya jelas, wong tanggal terbitan korannya itu sudah kadaluarsa sejak dua minggu yang lalu.
"Leh, mau kemana kamu, kok jalannya cepet banget? Mau ada acara to?" Tanya Pranyoto dan Sungep yang sama persis dan bareng tanpa tertinggal sedetikpun ucapan salah satu dari mereka berdua.
"Iya ini. Aku mau ngirim karyaku yang ternyata dilirik sama kolektor jepang, kemarin. Karyaku dihargai 5 M, dan sekarang aku harus kirimkan ini ke Jakarta berhubung orangnya belum balik." Jawab Doleh dengan wajah Thola-Tholonya.
"Jabang bayi, kok ya mujur Leh? Perasaan, kamu ndak pernah jadi seniman. Kok sekarang malah semakin jos?" Tanya Pranyoto dan Sungep bareng lagi dan tentu saja tak satupun tertinggal sedetik untuk mengucapkannya.
"Ya iya nda, aku udah capek dengerin kalian ngomongin seni lah, karya lah, musisi lah, jemburis lah, anumu lah, gedi lah. Mending aku buat karya saja, ketimbang hanya ngomong saja tapi tak satupun karya muncul. Iya to, saja ku?" Kata Doleh yang mengguncangkan dunia percangkeman antar manusia dan tentu saja ndelalah mencuri hati pujaannya Pranyoto dan Sungep; Lastri Malan Kacuk dan juga Tomblok Dila Nangi yang memang sudah seharusnya dicuri sejak dulu oleh Doleh.
Akhirnya, Pranyoto dan Sungep menangis tak henti-hentinya selama beberapa abad lagi yang akhirnya membuat mereka mati akibat kepanasan.
Sudah...
~
Namun belum tamat, karena beberapa abad kemudian Pranyoto dan Sungep kembali hidup untuk meminta maaf kepada kedua orang tua mereka.
Akhirnya, tamat sudah.
By. Saimo Am-Mattobi'i