Senin, 26 November 2018

Parman Sang Algojo

Malam ini sedikit dingin menusuk badanku yang meski sudah aku balut dengat jaket kulit warna cokelatku, tak memberi hangat pada kulitku. Secangkir kopi pahit yang disediakan oleh mbok Tewel membantu aku dan teman-temanku untuk tetap terjaga paling tidak sampai subuh nanti. Kami adalah para kelompok yang malam ini mendapat giliran untuk menjadi penerima tawanan PKI yang namanya sudah tertera di dalam daftar nama yang membawa kami menjadi seorang pembunuh malam ini. Aku dan teman-temanku sebenarnya sedikit takut dan khawatir ketika harus melakukan ini. Rasa cemas dan was-was saat menunggu mereka, menggerayangi sekujur tubuh kami. Tapi aku dan teman-temanku sudah sepakat untuk membalaskan dendam kiyai dan teman-teman kami yang sudah dibantai lebih dulu oleh mereka.

"Man, kowe yakin sanggup mateni wong-wong PKI iki engko? (Man, kamu yakin sanggup membunuh orang-orang PKI ini nanti?)" Tanya Tejo, sepupuku yang kebetulan satu kelompok denganku.

"Kowe ngomong opo Jo, yo yakin lah. Aku wes gremeten karo wong PKI seng wes mateni konco-koncone awake dewe. (Kamu ngomong apa Jo, ya yakin lah. Aku sudah gregetan sama orang PKI yang sudah membunuh teman-teman kita)" jawabku kesal.

"Yo bukane ngunu, aku cuma wedi awakmu engko trauma mari mateni wong-wong iki ngko. Seng paling parah, awakmu engko bakal dipegeli nyang keluargane wong-wong iki. Wong-wong iki kan yo termasuk warga desone awak e dewe. (Ya bukannya begitu, aku cuma takut kamu nanti trauma setelah membunuh orang-orang ini nanti. Yang paling parah, kamu nanti bakal dibenci sama keluarganya orang-orang ini. Orang-orang kni kan termasuk warga desa kita)"

"Luwih pilih ngendi, wong PKI iku urip tapi engko awak e seng di pateni utowo awak e dewe tetep urip lek wong PKI iku modar? (Lebih pilih mana, orang PKI itu hidup tapi nanti kita yang dibunuh atau kita tetap hidup ketika orang PKI itu mampus?)"

"Yo luwih pilih wong PKI iku mati Man (ya lebih pilih orang PKI itu mati Man)"

"Lha iyo, yo uwes ojo nyangkem ae! (Lha iya, yaudah jangan ngomong aja!)" Jawabku sedikit kesal pada Tejo yang terus menggangguku saat aku mencoba menghilangkan rasa takutku.

Suasana di pinggir sungai itu sungguh hening, bahkan suara burung hantu dan jangkrik pun tak terdengar berisik di telingaku. Begitu senyap malam itu, membuatku semakin hanyut dalam ritual persiapan pembunuhan yang telah direncanakan itu.

"Man, kelompok penjemput wes teko. Ayo siap-siap. (Man, kelompok penjemput sudah datang. Ayo siap-siap)" kata temanku yang juga mempunya perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan saat ini. Takut bercampur khawatir.

"Wes kabeh iki? (Sudah semua ini?)" Tanyaku pada salah satu kelompok penjemput.

"Uwes. Neng daftar jenenge yo mek wong pitu iki. (Sudah. Di daftar namanya ya cuma tujuh orang ini)" jawab salah satu kelompok penjemput itu.

"Yo uwes, ayo (Ya sudah, ayo)" ajakku pada teman-temanku yang sudah memegangi tangan para "calon mayat" itu.

Tak ada suara teriakan yang sampai pada telinga kami dari para calon korban keberingasan kami malam ini, karena penutup mulut dan kepala sudah terpasang semenjak mereka di bawa ke sini. Pinggir sungai Berantas ini.

Satu demi satu kami para "calon mayat" itu kami pukuli dengan kayu rotan dan juga bambu kuning agar bisa menghilangkan kesaktian kekebalan mereka kata kiyai kami. Setelah mereka jatuh tersungkur akibat rasa sakit yang bertubi-tubi mereka rasakan dan belas kasihan yang tak pernah kami berikan kepada mereka, akhirnya kami sekali lagi menggunakan bambu kuning yang sudah kami tajamkan untuk menusuk-nusuk perut mereka serta kemaluan mereka. Saat itu, kami merasa seperti menjadi malaikat penyiksa yang tak memiliki rasa kasihan sedikitpun. Rasa takut dan khawatir kami pun tiba-tiba hilang ketika terbayang-bayang oleh teman-teman kami yang dibantai oleh mereka persis seperti apa yang kami lakukan pada mereka saat ini.

Darah telah membasahi pakaian kami, namun nyawa masih menempel pada tubuh mereka. Untuk itu, sudah waktunya kami untuk melakukan upacara terakhir. Memenggal kepala mereka. Setiap tubuh yang sudah kami pisahkan dengan kepala mereka, kami lempar ke sungai untuk menjadi tontonan orang tua dan anak-anak di pagi harinya.

Setelah semua pekerjaan sudah terselesaikan, kini waktunya kami membersihkan tubuh kami dari darah-darah yang menempel. Kami bergegas menceburkan tubuh kami ke dalam aliran sungai, agar arwah mereka tak mengikuti kami ke rumah.

Di perjalanan, kami terdiam dan ada sedikit penyesalan yang muncul begitu saja. Mungkin teman-temanku juga sepertiku, membayangkan jika kami bahkan salah satu keluarga kami juga diperlakukan oleh orang seperti apa yang kami lakukan. Tapi aku tak khawatir bahwa para PKI itu akan membalas dendam, karena sisa-sisa PKI telah kami lenyapkan pada malam ini juga.

"Man, Parmin melu kelompok opo bengi iki? (Man, adikmu ikut kelompok apa malam ini?)" Tanya salah satu temanku yang sedikit menghilangkan hening yang menemani derap langkah kami.

"Ora melu, adiku oleh lemburan neng pabrik kawet wingi. (Tidak ikut, adikku dapat lemburan di pabrik dari kemarin)" kataku.

"Padahal wong e wes sugih yo, kenopo sek tetep kerjo nek pabrik ae. Bukane kebun sayur e yo wes oleh bathi okeh. Lek aku yo mending fokus nyang kebun e ae ketimbang kerjo neng pabrik seng sangune ora sepiro. (Padahal orang kaya ya, kenapa tetap kerja di pabrik aja. Bukannya kebun sayurnya sudah dapat untung banyak. Kalau aku ya mending fokus ke kebunnya aja ketimbang kerja di pabrik yang gajinya tidak seberapa)" sahut salah satu temanku yang lain mencoba menyamakan suara untuk memecah sunyi kami.

"Yo jenenge ae nggolek rejeki ora perlu pilih-pilih. Lek pancene kerjone iso ngasilne duet opo salah e to? ( Ya namanya aja nyari rezeki tidak perlu pilih-pilih. Kalau memang kerjanya bisa menghasilkan uang apa salahnya?)" Jawabku yang seperti orang bijak.

"Lha kowe Man, kerjo opo? Ojo ngomong, cuma njalok nyang adimu hahahaha.. ( lha kamu Man, kerja apa? Jangan bilang, cuma minta ke adikmu hahahaha..)" canda temanku yang pertama kali bertanya padaku.

"Yo ora lah Nyo Nyo, Sinyo iki lak mesti gawe goro-goro karo aku. Pengen tak dadekne koyo wong-wong maeng to? Hahaha (ya tidak lah Nyo Nyo, Sinyo ini mesti cari gara-gara sama aku. Pengen aku jadiin kaya orang-orang tadi? Hahaha. Canda balasanku. Entahlah, semua candaan itu membuat kami lupa tentang penyesalan dan khawatir yang membayangi kami beberapa menit yang lalu. Semoga saja ak dan teman-temanku bisa tidur nyenyak. Paling tidak pagi ini.

                                          ~

Sudah tiga hari, Parmin tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin, adikku masih mendapatkan lembur karena ini adalah minggu pertama pabrik gula tempat adikku bekerja sedang mengolah panenan tebu dari para petani tebu dekat pabrik. Aku pikir, dia pasti akan dapat upah lembur yang banyak yang mungkin bisa aku pinjam untuk modal usahaku. Dia sangat mudah dipinjami uang, tapi kalau sudah jatuh tempo dan tak segera melunasinya. Dia akan sangat marah dan mengataiku dengan kata-kata yang sangat kasar. Aku tahu dia seperti itu karena ingin mengajarkanku sebuah tanggung jawab, dan aku memaklumi itu. Parmin adalah adikku satu-satunya yang sangat aku sayangi dan aku banggakan karena dia adalah pekerja keras yang bertanggung jawab pada keluargannya.

                                         ~

Jam sebelas siang, Tejo datang ke rumah, dengan baju batik namun tak begitu rapi untuk orang yang ingin pergi untuk mengahadiri acara pernikahan atau sunatan.

Kini dia menghadapku dengan wajah pucat pasi dan bibir yang bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu padaku.

                                           ~

"Pangapurone yo Man, utang seng nggarai aku ngelakoni iki. Parmin saben bengi nemoni aku neng ngipiku. Aku pancen ora pantes urip Man. (Maaf ya Man, hutang yang membuat aku melakukan ini. Parmin setiap malam menemui aku dalam mimpiku. Aku memang tidak oantas hidup Man)

"Asu kowe Jo, kok tego kowe karo dulurmu dewe! Cuma goro-goro utang, jenenge adiku kok tulis neng daftar iku. Kowe seng garai aku dadi pembunuh e adiku dewe. Dino iki aku yo bakal dadi pembunuhe dulurku dewe! (Anjng kamu Jo, kok tega kamu dengan daudramu sendiri! Cuma gara-gara hutang, nama adikku kamu tulis di daftar itu. Kamu yang membuat aku menjadi pembunuh adikku sendiri. Hari ini aku juga bakal jadi pembunuh saudaraku sendiri!)"

By. Saimo Am-Mattobi'i

Minggu, 25 November 2018

Hati Yang Tak Bersamaku


Sudah sekitar beberapa menit aku berada di sampingmu untuk mencuri pandangku pada wajahmu yang sedari aku melihatmu saat aku masuk toko buku yang terkenal menyediakan semua jenis buku yang aku inginkan. Kamu terlihat serius membaca buku yang mungkin ingin kamu beli, atau mungkin kamu hanya ingin membacanya saja. Dari penampilanmu dan jenis buku yang kamu baca, aku mencoba menerka tentang siapa dirimu; seorang mahasiswi jurusan sastra atau semacamnya. Kamu juga tak terlihat memakai baju yang mewah dan bahkan pakaianmu terlihat sederhana dengan kacamata lebar yang menghiasi wajahmu. Mungkin kamu seorang yang bisa dikatakan cupu atau juga semacamnya, namun kamu begitu manis saat tersenyum membaca tulisan di dalam buku itu. Aku pikir itu semacam buku novel komedi atau percintaan yang lucu. Entahlah, tapi yang jelas aku merasa tenang saat melihatmu.

"Kenapa mas memandangku? Apa aku terlihat aneh karena menghabiskan waktuku berlama-lama membaca buku ini?"

Jujur, itu sangat membuatku kaget setengah mati dan bahkan setelah aku membuang mukaku darimu pun tak menghilangkan rasa maluku padamu.

"Maaf, bukan maksudku kurang ajar sama mbak. Aku cuma..." Kataku gugup.

"Cuma apa? Cuma terpesona dengan wajahku?" Sahutmu tanpa ragu sampai aku tak bisa berkata apa-apa.

"Maaf" hanya itu yang bisa terucap dari bibirku.

"Tak perlu minta maaf. Memang sudah naluri laki-laki melihat seorang yang cantik sampai seperti itu" katamu dengan senyum yang benar-benar manis. Bahkan lebih manis ketimbang senyummu beberapa menit yang lalu.

Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi setelah melihat senyumnya. Tapi aku benar-benar ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Juga melihat senyummu.

"Apa kamu senang membaca novel?" Tanyaku dengan sedikit keberanian diri yang kupaksakan.

"Emmm, entahlah. Aku senang membaca buku, bukan hanya novel. Aku lebih senang membaca buku yang bersifat non-fiksi seperti sejarah, kebudayaan atau mungkin motivasi hidup. Namun, terkadang aku juga membaca novel atau cerpen untuk memperkaya imajinasiku saat menulis."

"Apa kamu seorang penulis?" Tanyaku spontan.

"Yaaa, gak tahu. Hanya saja, aku senang menulis dengan isi cerita yang sering aku alami. Namun tak semuanya aku tulis, hanya sebagian kecil dengan karakter yang berbeda." Jawabmu dengan sedikit antusias yang terlihat jelas di wajahmu.

"Wah, apa tulisan kamu sudah kamu bukukan. Seperti novel, mungkin?"

"Belum, tapi aku berharap ada orang yang mau membaca tulisanku suatu hari nanti ketika..."

"Aku mau jadi orang itu. Ya, mungkin lebih tepatnya jadi orang pertama yang membaca tulisanmu."

"Hehehe, kamu aneh." Katamu dengan ketawa yang begitu anggun

"Aneh kenapa, apa aku tak pantas?" Tanyaku dengan sedikit kecewa.

"Bukan, bukan seperti itu. Tapi kamu baru saja kenal denganku dan sekarang menawarkan diri untuk menjadi orang pertama yang ingin membaca tulisanku."

"Baiklah, aku harap besok dan seterusnya kita akan bertemu lagi di sini atau mungkin di tempat lain agar aku tak lagi sebagai orang yang baru untukmu ketika kita sering bertemu. Gimana?" Tawarku padamu.

"Eemm, boleh. Tapi aku tak ingin kita bertukar nomor atau saling tahu di mana kita tinggal ya?"

"Kenapa seperti itu?" Tanyaku penasaran.

"Karena itu yang bisa meyakinkanku bahwa kamu memang orang yang pantas untuk menjadi yang pertama membaca tulisanku." Jawabmu yang aku anggap memang masuk akal.

"Baiklah, kita pasti akan bertemu dan mungkin akan sering bertemu." Kataku padamu dengan kepercayaan diriku yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya.

"Okey, aku sering datang ke sini. Tapi tak setiap hari aku berkunjung ke tempat ini. Kalau kamu beruntung, kamu pasti menemukanku."

"Aku pasti menemukanmu" kataku dengan yakin.

"Amel, udah? Ayo pulang. Udah sore ini" kata seorang wanita paruh baya dengan menenteng keresek isi belanjaannya saat menghampiri wanita yang sedang aku ajak bicara.

"Iya ma, bentar" sahutmu pada mamamu

"Aku pulang dulu ya. Terima kasih udah ajak aku ngobrol. Sampai jumpa." katamu saat ingin meninggalkanku dengan seribu tanya yang masih belum terucap dari bibirku untukmu.

Kalimat perpisahan itu belum sama sekali membuatku puas dengan obrolan kita waktu itu. Jadi kuputuskan saat itu juga, aku akan terus menemukanmu sampai aku puas dengan perjumpaan kita.

Empat hari setelah pertemuan kita, hari ini aku bertemu denganmu di tempat yang sama yang sebelumnya aku setiap hari datang ke sini. Namun aku tak menemukanmu.

"Akhirnya kamu datang"

"Kenapa wajah kamu seperti itu?" Tanyamu.

"Memang wajahku kenapa?" Sahutku dengan tanganku meraba-raba wajahku.

"Hehehe, enggak. Bukan wajah kamu berubah, cuma ekspresi wajah kamu seperti wajah bahagia karena bertemu dengan orang yang kamu rindu.

Iya, aku memang merindukanmu. Bahkan aku terus memikirkanmu saat aku tak bisa menemukanmu, Amel.

"Ya bukan gitu. Karena kita kan udah janjian kalau kita akan bertemu di sini. Bahkan aku setiap hari datang ke sini tapi baru hari ini aku bertemu denganmu lagi. Aku kira kamu lupa, ternyata kamu datang. Aku sedikit lega" kataku mencoba untuk membuat sebuah pembelaan.

"Hahaha iya iyaaa, aku tak akan mengingkari janjiku ataupun menipumu kok. Tapi aku kan sudah bilang, kalau aku tak setiap hari datang ke sini."

Aku tak lupa, aku hanya mencoba untuk sesering mungkin bertemu denganmu meskipun aku harus mencuri waktuku setiap hari datang ke sini untuk bertemu denganmu. bahkan meskipun aku harus rela waktuku itu terbuang percuma karena tak menemukanmu.

"Oh iya aku lupa, kita kan belum berkenalan. Kenalin namaku Amel. Kamu?"

Aku benar-benar lupa kalau aku belum memperkenalkan namaku padamu. Mungkin karena aku sudah mendapatkan nama kamu dari ibu kamu yang saat itu memanggilmu dengan nama itu dan juga aku terlalu terpesona denganmu sampai-sampai aku lupa kalau aku juga punya nama yang harus kamu ingat.

"Namaku Sandy."

"Sandy? Kaya nama cewek ya hehehe"

"Cewek? Ya enggak lah. Kalau cewek itu namanya mungkin Sendy atau Sindy." Kataku menggerutu.

"Hahaha iyaa, bercanda. Yaudah kamu mau temani aku berkeliling mencari alat tulis di lantai bawah?"

"Boleh, tapi buat apa kamu beli alat tulis?"

"Udah ikut aja"

Aku tak mempercayai ini. Saat ini, aku sedang berada di samping wanita yang mencuri perhatian mataku. Aku juga tak tahu, kenapa aku sampai terbuai dengan diorama ini. Berdua denganmu.

Di toko peralatan tulis, aku sekali lagi melihat wajah yang empat hari kemarin membuatku terpesona. Mungkin lebih tepatnya jatuh hati. Kamu tersenyum saat menemukan sebuah pena dengan ornamen yang lucu. Menurutmu.

"Aku mau beli yang ini, aku suka"

Sungguh, Amel. Pada saat kamu menunjukkan wajah bahagia dan senyummu yang berkali-kali lipat lebih manis itu, jantungku seperti ingin keluar dari tubuhku. Rasanya sangat sakit, tapi aku bahagia. Aku benar-benar mencintaimu saat itu.

"Kapan-kapan lagi temani aku lagi ya" katamu sore itu saat ibumu sudah memberi aba-aba pada kita untuk segera berpisah.

"Iya, aku akan selalu temani kamu sampai kamu bosan aku temani"

"Hehehe gombal. Tapi... Terima kasih ya. Aku belum pernah bertemu laki-laki aneh seperti kamu dalam hidupku. Aku sangat bersyukur. Aku ingin hidup seribu tahun lagi agar bisa terus bertemu denganmu, Sandy."

Aku juga, bahkan aku lebih bersyukur karena Tuhan mempertemukan aku dengan wanita sepertimu, Amel. Aku akan hidup seribu tahun juga untuk mengabulkan keinginanmu.

Sebenarnya, aku ingin mengungkapkan rasaku padamu waktu itu. Aku tak hanya senang, tapi aku juga mencintaimu. Namun, aku tak berani untuk mengungkapkannya. Karena aku pikir, ini pertemuan yang singkat untuk menyimpulkan bahwa rasa ini memang benar-benar apa yang disebut dengan jatuh cinta.

Sayangnya, aku terus memikirkan ini bahkan saat wajahmu telah lenyap dari jangkauan mataku. Kini, rasa yang ada dalam hatiku seperti ingin meluap saat aku jauh darimu. Aku tak bisa menahan ini, aku telah memutuskan untuk menyatakan rasaku saat aku bertemu denganmu nanti.

Satu minggu setelah perjumpaan terakhir kita.

"Tante? Tante mamanya Amel kan? Sudah seminggu ini Amel gak datang ke sini. Apakah Amel sedang sakit?

"Kamu Sandy yang sering ketemu Amel di sini kan?"

"Iya, te"

"Amel sering bicarain kamu ke tante. Dia belum pernah sebahagia itu seumur hidupnya. Kamu beri Amel senyum yang tante rindu sejak dulu. Senyum yang selalu terlukis di wajahnya sebelum kanker telah merenggutnya dari Amel."

"Kanker? Maksud tante?"

"Dia sudah meninggal. Dua hari setelah bertemu denganmu. Sebelum meninggal, Amel ingin memberi surat ini pada kamu"

Aku membaca isi surat darimu, tak kutemukan rasa bahagia saat membaca tulisan darimu. Hanya sesal yang tak dapat kulupakan saat membaca surat itu. Kamu tak pernah tahu rasaku padamu.

"........
.......
Sebenarnya aku jatuh cinta sama kamu San, namun aku takut kamu hanya akan mengasihaniku karena penyakitku. Lebih baik aku menyatakannya padamu saat aku tak perlu lagi rasa kasihan dari orang lain. Bahkan dari kamu; laki-laki yang aku cintai. Aku sangat mencintaimu. Aku berharap bisa hidup seribu tahun lagi bersamamu. Namun Tuhan tak memberi lagi waktu untukku.

NB: Wanita juga bisa jatuh cinta lebih cepat dari laki-laki loo. Contohnya AKU.. hehehe"


Aku tak menyadari, bahwa kamu ingin hidup seribu tahun lagi adalah pesan untukku bahwa kamu tak akan hidup untuk waktu yang lama bersamaku. Aku menyesal karena aku tak mengungkapkan rasaku padamu waktu itu, Amel. Aku sungguh menyesal.


By. Saimo Am-Mattobi'i

Senin, 19 November 2018

Sebuah Nama (Rahmah)

Namaku Rahmah, orang tuaku memberikan namaku itu dengan harapan Tuhan akan senantiasa memberikan belas kasih-Nya padaku. Ada alasan lain yang membuat ayahku menyematkan nama itu dalam dadaku. Cerita di balik nama itu tak habis-habisnya membuatku takjub dengan ayahku yang terlihat selalu bahagia ketika melihat kehadiranku.

Suatu hari, aku dan ayah duduk di sebuah taman yang selalu kita kunjungi setiap akhir pekan. Saat menjelang siang sebelum adzan berkumandang, kami akan pergi ke suatu surau kecil di mana aku selalu merasa tak asing untuk mengunjunginya bahkan saat pertama kali berkunjung ke sana.

Adzan berkumandang, yang aku lihat dari ayahku adalah kekhidmatan yang tak pernah luntur saat mendengar dengung suara yang mentakbirkan nama Tuhan. Waktu untuk menghadapkan wajah kami kepada Tuhan tiba. Aku tak dapat merapatkan badanku kepada ayah karena kami berada di sekat yang berbeda. Akhirnya, salam terakhir dari pemimpin makmumpun terucap dan sebagian orang menghajatkan semua keinginan mereka. Begitupun aku yang menginginkan agar Tuhan memberikan kehidupan yang layak untuk hidup kami berdua.

Dua menit bahkan lima menit kemudian, orang-orang yang semula bershaf-shaf kini semakin merenggang bahkan hilang sama sekali. Namun aku lihat, ayah tak kunjung bangkit dan bahkan dia terus bermunajat di atas tempat duduknya. Itu yang membuatku semakin sayang kepadanya, dan berharap akan menemukan sosok lelaki yang akan menggantikan ayahku; paling tidak menyamainya. Aku semakin penasaran tentang kisah percintaan ayahku dan almarhum bundaku yang meninggalkan kami sejak aku berumur 7 hari. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, tentang bagaimana bunda bisa jatuh hati kepada ayah.

Akhirnya setelah kurang lebih dari sepuluh menit, ayahku menyelesaikan keluh kesahnya pada Tuhan dan langsung menemuiku yang sejak tadi berada di teras surau sambil memandang ayahku dari tempat dia duduk sampai melangkahkan kakinya kepadaku.

"Maaf ya sayang, ayah terlalu lama berdoa" kata ayahku sambil tersenyum melihat wajahku yang sedikit terlihat bosan menunggu ayah.

"Gak apa-apa kok yah, Rahmah seneng liat ayah berdoa kok" kataku sambil membalas senyum hangat dari ayahku.

"Langsung pulang atau kamu pengen ngobrol sama ayah? sambil duduk-duduk di sini?" kata ayah yang tiba-tiba seperti membaca pikiranku yang sejak tadi terngiang-ngiang dalam otak.

"Emmmm, yah. Aku pengen tanya sama ayah boleh gak?" tanyaku sambil mataku tak lepas melihat ayah menurunkan badannya untuk duduk.

"Ya boleh dong sayang, kaya sama presiden aja sampai kamu tanyanya gitu." canda ayah mencoba membuyarkan rasaku yang memang sedikit agak tegang saat ingin menanyakan sesuatu hal yang sesikit sensitif untuk ayah.

"Ayah mau gak, menceritakan tentang percintaan ayah sama bunda. Dari awal ayah sama bunda bertemu sampai bunda meninggalkan kita berdua untuk selamanya?"

"Sayang, bunda gak meninggalkan kita untuk selamanya kok. Nanti juga kita bakal ketemu lagi di dalam surga, insya Allah"

"Iya maksudku gitu yah hehehe"

Ayah memandang langit dan menghela nafas panjang untuk memulai cerita tentang cinta antara ayah dan bunda.

"Kamu tahu, kenapa kamu selalu aku ajak ke taman dan surau kecil ini, sayang?"

"Pasti ada hubungannya sama bunda ya?" tanyaku mencoba menafsirkannya.

"Iya sayang. Awal mulanya, ayah bukan seorang laki-laki yang sangat tekun beribadah. Yah, bisa dikatakan ayah dulu ibadahnya bolong-bolong bahkan terkadang ayah suka meninggalkan sholat, yang paling parah senang berfoya-foya."

Cerita ayah sejenak terhenti untuk sekedar melihat ekspresi di wajahku saat mendengar kisah kelam masa lalu ayah. Yah memang agak kecewa ketika mendengar itu tapi akupun tak bisa menolak cerita yang sudah terlanjur terangkai.

"Ya, meskipun masa lalu ayah seperti itu. Ayah masih ingat siapa Tuhan yang harus ayah yakini." kata ayah mencoba mengambil hatiku yang sedikit kecewa tadi.

"Suatu hari, ayah pergi ke taman yang kita selalu pergi ke sana dalam keadaan kalut ketika ayah memiliki masalah kehidupan yang berat. Ayah sempat menangis dan meratap di atas kursi taman. Saat ayah menundukkan kepala ayah agar tangisan ayah tak dapat dilihat oleh orang banyak, ayah mendengar suara wanita yang sejak tadi duduk di samping ayah dan melantunkan ayat suci Al-Quran. Dia adalah bunda yang sedang menghafalkan surat Ar-Rahman. Bunda kamu mempunyai suara yang indah yang membuat hati ayah semakin meluruh dan menjadi sedikit tenang. Ayah mendengar setiap ayat yang bunda kamu baca dengan sepenuh hati sambil mencoba mencari sebuah alasan kenapa hidup ayah selalu penuh dengan cobaan. Sebenarnya ayahpun tak pernah menduga bahwa wanita itu suatu hari bakal menjadi istri ayah dan bunda kamu karena ayahpun tak pernah berpikir wanita seperti bunda menyukai ayah yang tak pernah basah bibirnya untuk melantunkan ayat Al-Quran."

Ayah berhenti sejenak untuk kesekian kalinya dan sedikit tersenyum ketika mengingat-ingat kisah lama yang mungkin selalu ayah simpan untuk nanti diceritakan kepada bunda di surga tentang betapa bahagianya ayah mendapatkan wanita seperti bunda yang akupun tak pernah tahu mengenai dia.

"Bunda waktu itu tiba-tiba mengehentikan hafalannya sejenak untuk sekedar menyapa ayah yang sejak tadi memandang bunda dan mendengarkan suara bunda. Bunda memberi senyum yang indah yang belum pernah ayah lihat sebelumnya dan tak ada yang bisa menandingi senyum indah bunda selain senyum kamu, sayang."

Ayah benar-benar seorang laki-laki yang romantis. Bahkan akupun tersipu mendengar kata-kata ayah. Akupun mungkin tak kaget kalau bubda bisa jatuh hati pada ayah. Tapi kata-kata romantis ayah bukanlah alasan kenapa bunda bisa jauh hati pada ayah. Justru kesungguhan ayahlah yang membuat bunda jatuh hati.

"Ayah gak tahu ketika bunda kamu pergi dari tempat duduknya, ayah kembali lagi seperti keadaan ayah sebelumnya. Rasanya rasa kalut yang tadi menghilang tiba-tiba menusuk-nusuk hati dan otak ayah. Ketika itu hari menjelang siang, akhirnya ayah memutuskan untuk mencari tempat ibadah yang dekat dengan taman itu. Sampailah ayah di surau kecil tempat kita duduk ini, ayah bertemu lagi dengan bunda yang memang setiap hari bunda kamu selalu datang ke sini saat menjelang siang."

"Ciye ayah pasti stalking bunda ya dulu sampai-sampai ayah tahu kalau bundang sering ke sini? Hehehe" candaku ke ayah.

"Ya bukan, sayang. Ayah tahu karena ketika itu ayah memang kos di depan sini, dekat surau ini. Tapi memang ayah sangat jarang ke sini sebelum ayah ketemu dengan bunda. Dan bukan karena alasan ingin bertemu dengan bunda, ayah datang ke sini. Itu karena kebiasaan ayah yang ketika mengalami masalah selalu pergi ke tempat yang mungkin bisa membuat hati ayah semakin tenang. Dan kebetulan hanya surau ini yang dekat dengan tempat tinggal ayah." kata ayah mencoba menepis candaanku.

"Setelah hari itu, ayah semakin sering bertemu dengan bunda kamu dan terkadang ayah harus mencuri dengar ketika bunda kamu melantunkan ayat Al-Quran setelah selesai bermunajat. Ya memang sih, ayah kelihatannya sedikit penasaran dengan bunda kamu tapi ayah tak pernah berani mengajak berbicara bunda. Tapi suatu ketika, saat ayah mencoba membaca Al-Quran karena ayah berpikir kalau hanya mendengar saja belum cukup untuk menenangkan hati ayah. Dengan sedikit terbata-bata ayah membaca setiap ayat dalam Al-Quran itu dan kebetulan ayah membaca surat Ar-Rahman yang tak sengaja ayah buka karena ayah membuka mushafnya secara acak. Saat di ayat yang ayah lupa ayat apa itu, tiba-tiba ada suara yang membetulkan bacaan ayah. Dia bunda, yang sejak tadi ternyata mendengar ayah membaca. Akhirnya ayah tak melanjutkan membacanya dan diam karena malu."

"Tiba-tiba bunda bilang, 'kok berhenti mas, lanjutin'. Ayah jawab malu kepada bunda dan ayah menutup mushafnya. Melihat ayah menutup mushaf itu, bunda kamu berkata, 'yaudah aku gak akan dengerin dan benerin atau mungkin aku pergi aja biar mas gak malu ya hehehe'. Tapi ayah langsung  mengatakan pada bunda untuk tetap di situ dan mengatakan kalau ayah akan membacanya lagi bahkan ayah minta agar bunda mengoreksi bacaan yang salah. Akhirnya, bundapun mau dan mendengarkan lantunan bacaanku di dekatnya. Setelah selesai membaca surat itu, ayah mengucapkan terima kasih pada bunda dan meminta bunda agar senantiasa menemani ayah ketika ayah membaca mushaf di surau ini. Ayah juga gak tahu kenapa semuanya terlihat mudah, bunda kamu mau karena menurut bunda kamu orang yang ingin belajar Al-Quran wajib dibantu."

"Bunda wanita yang baik ya yah, sayang Rahmah belum pernah ketemu sama bunda ketika Rahmah udah besar" kataku sedikit merasa kecewa.

"Enggak, sayang. Sebenarnya bunda kamu masih ada dan hidup dalam hati kamu bahkan wajah bunda kamu tergambar di atas wajah kamu. Ketika ayah memandangmu, ayah merasa bahwa yang ayah pandang adalah bunda."

"Ya mungkin wajah Rahmah mirip sama bunda, tapi kebaikan bunda gak sama dengan apa yang Rahmah lakuin"

"Memang tingkah laku kalian berbeda tapi ayah harap kamu bisa lebih daripada bunda. Agar laki-laki yang datang menemuimu kelak merasa beruntung seperti apa yang ayah rasakan. Ayah ingin kamu jadi sebuah mutiara yang sangat berharga sehingga kamu bisa menjatuhkan hati kamu kepada laki-laki yang pantas memilikinya"

"Iya yah. Lanjutkan dong yah"

"Nah, akhirnya karena seringnya kita bertemu di surau ini. Tumbuh rasa yang sama di antara hati ayah dan bunda kamu. Namun saat itu, bunda kamu telah dijodohkan dengan laki-laki lain meskipun laki-laki itu belum menanyakannya pada bunda. kakek sama nenek sebenarnya tak menentang hubungan kami tapi karena saat itu janji telah disepakati dari pihak orang tua bunda, mereka hanya menunggu kepastian dari bunda. Akhirnya ketika laki-laki itu menayakannya langsung pada bunda, bunda kamu menolak tapi bukan karena ayah alasannya yang bunda kamu katakan karena mungkin ingin menjaga perasaan laki-laki itu.  Selain itu juga, bunda kamu belum siap untuk menikah. Akhirnya ayah menunggu bunda selama dua tahun dan selama masa menunggu itu, bunda meminta ayah untuk menghafalkan surat yang pertama kali ayah dengarkan ketika pertama kali bertemu dan juga bermunajat di dalam surau selama yang ayah bisa sembari memohon agar bunda menjadi istri ayah. Memang, ayah bisa menyelesaikan hafalan itu sampai satu setengah tahun karena kesibukan ayah pada pekerjaan ayah tapi ayah tak lupa untuk berlama-lama bermunajat karena memang ayah membutuhkan bantuan dari Tuhan saat itu. Setelah hitungan dua tahun berakhir, ayah melamarnya bersama dengan kedua orang tua ayah dengan membawa hafalan surat Ar-Rahman di depan kakek sama nenek kamu. Setelah itu, ayah mengucapkan ijab qabul ayah dengan kakek. Akhirnya kamipun menjadi suami istri. Yah meskipun cuma sebentar bersama dengan bunda karena bunda ternyata mengidap kanker otak stadium 4 yang memang selama dua tahun itu bunda pergunakan untuk mencoba mengobati penyakitnya tapi tak pernah berhasil. Untunglah sebelum bunda kamu pergi meninggalkan ayah, bunda menitipkan perasaan bunda pada ayah dengan menghadirkan kamu, sayang. Nama Rahmah itu diberikan langsung oleh bunda sebagai hadiah karena ayah bisa menghafalkan surat itu dan juga sebagai pengingat ayah bahwa surat itu yang membawaku kepada bunda. Selain itu, nama itu berarti belas kasih yang diberikan Tuhan kepada ayah yang selalu mencoba bersabar dalam menghadapi permasalahan ayah termasuk kesedihan ayah saat kehilangan bunda. Dan semenjak ayah kenal dengan bunda, ayah tak pernah meninggalkan kewajiban ayah untuk beribadah serta apa yang ayah lakukan sekarang itu semata-mata karena kehadiran bunda di dalam kehidupan ayah. Dan setiap melihat kamu, seakan-akan bunda selalu mengawasi ayah agar tak lupa untuk menjalankan kewajiban ayah untuk menjaga diri ayah dan kamu sehingga nanti kita bisa berkumpul kembali di dalam surga."

Sungguh saat mendengar cerita dari ayah, aku ingin sekali menjadi wanita yang sangat baik seperti bunda. Melihat perjuangan ayah sampai sini, aku tak mungkin untuk mengecewakan mereka berdua. Aku berharap bisa mengukir cerita yang indah dengan lelaki yang membawa kabar gembira padaku.

Rahmah bukan hanya seuntai nama yabg tak berarti, tapi juga sebuah judul dari sebuah cerita. Nama yang indah dan juga perasaan dari dua insan yang terlukis di dalamnya.

By. Saimo Am-Mattobi'i