Parman Sang Algojo
Malam ini sedikit dingin menusuk badanku yang meski sudah aku balut dengat jaket kulit warna cokelatku, tak memberi hangat pada kulitku. Secangkir kopi pahit yang disediakan oleh mbok Tewel membantu aku dan teman-temanku untuk tetap terjaga paling tidak sampai subuh nanti. Kami adalah para kelompok yang malam ini mendapat giliran untuk menjadi penerima tawanan PKI yang namanya sudah tertera di dalam daftar nama yang membawa kami menjadi seorang pembunuh malam ini. Aku dan teman-temanku sebenarnya sedikit takut dan khawatir ketika harus melakukan ini. Rasa cemas dan was-was saat menunggu mereka, menggerayangi sekujur tubuh kami. Tapi aku dan teman-temanku sudah sepakat untuk membalaskan dendam kiyai dan teman-teman kami yang sudah dibantai lebih dulu oleh mereka.
"Man, kowe yakin sanggup mateni wong-wong PKI iki engko? (Man, kamu yakin sanggup membunuh orang-orang PKI ini nanti?)" Tanya Tejo, sepupuku yang kebetulan satu kelompok denganku.
"Kowe ngomong opo Jo, yo yakin lah. Aku wes gremeten karo wong PKI seng wes mateni konco-koncone awake dewe. (Kamu ngomong apa Jo, ya yakin lah. Aku sudah gregetan sama orang PKI yang sudah membunuh teman-teman kita)" jawabku kesal.
"Yo bukane ngunu, aku cuma wedi awakmu engko trauma mari mateni wong-wong iki ngko. Seng paling parah, awakmu engko bakal dipegeli nyang keluargane wong-wong iki. Wong-wong iki kan yo termasuk warga desone awak e dewe. (Ya bukannya begitu, aku cuma takut kamu nanti trauma setelah membunuh orang-orang ini nanti. Yang paling parah, kamu nanti bakal dibenci sama keluarganya orang-orang ini. Orang-orang kni kan termasuk warga desa kita)"
"Luwih pilih ngendi, wong PKI iku urip tapi engko awak e seng di pateni utowo awak e dewe tetep urip lek wong PKI iku modar? (Lebih pilih mana, orang PKI itu hidup tapi nanti kita yang dibunuh atau kita tetap hidup ketika orang PKI itu mampus?)"
"Yo luwih pilih wong PKI iku mati Man (ya lebih pilih orang PKI itu mati Man)"
"Lha iyo, yo uwes ojo nyangkem ae! (Lha iya, yaudah jangan ngomong aja!)" Jawabku sedikit kesal pada Tejo yang terus menggangguku saat aku mencoba menghilangkan rasa takutku.
Suasana di pinggir sungai itu sungguh hening, bahkan suara burung hantu dan jangkrik pun tak terdengar berisik di telingaku. Begitu senyap malam itu, membuatku semakin hanyut dalam ritual persiapan pembunuhan yang telah direncanakan itu.
"Man, kelompok penjemput wes teko. Ayo siap-siap. (Man, kelompok penjemput sudah datang. Ayo siap-siap)" kata temanku yang juga mempunya perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan saat ini. Takut bercampur khawatir.
"Wes kabeh iki? (Sudah semua ini?)" Tanyaku pada salah satu kelompok penjemput.
"Uwes. Neng daftar jenenge yo mek wong pitu iki. (Sudah. Di daftar namanya ya cuma tujuh orang ini)" jawab salah satu kelompok penjemput itu.
"Yo uwes, ayo (Ya sudah, ayo)" ajakku pada teman-temanku yang sudah memegangi tangan para "calon mayat" itu.
Tak ada suara teriakan yang sampai pada telinga kami dari para calon korban keberingasan kami malam ini, karena penutup mulut dan kepala sudah terpasang semenjak mereka di bawa ke sini. Pinggir sungai Berantas ini.
Satu demi satu kami para "calon mayat" itu kami pukuli dengan kayu rotan dan juga bambu kuning agar bisa menghilangkan kesaktian kekebalan mereka kata kiyai kami. Setelah mereka jatuh tersungkur akibat rasa sakit yang bertubi-tubi mereka rasakan dan belas kasihan yang tak pernah kami berikan kepada mereka, akhirnya kami sekali lagi menggunakan bambu kuning yang sudah kami tajamkan untuk menusuk-nusuk perut mereka serta kemaluan mereka. Saat itu, kami merasa seperti menjadi malaikat penyiksa yang tak memiliki rasa kasihan sedikitpun. Rasa takut dan khawatir kami pun tiba-tiba hilang ketika terbayang-bayang oleh teman-teman kami yang dibantai oleh mereka persis seperti apa yang kami lakukan pada mereka saat ini.
Darah telah membasahi pakaian kami, namun nyawa masih menempel pada tubuh mereka. Untuk itu, sudah waktunya kami untuk melakukan upacara terakhir. Memenggal kepala mereka. Setiap tubuh yang sudah kami pisahkan dengan kepala mereka, kami lempar ke sungai untuk menjadi tontonan orang tua dan anak-anak di pagi harinya.
Setelah semua pekerjaan sudah terselesaikan, kini waktunya kami membersihkan tubuh kami dari darah-darah yang menempel. Kami bergegas menceburkan tubuh kami ke dalam aliran sungai, agar arwah mereka tak mengikuti kami ke rumah.
Di perjalanan, kami terdiam dan ada sedikit penyesalan yang muncul begitu saja. Mungkin teman-temanku juga sepertiku, membayangkan jika kami bahkan salah satu keluarga kami juga diperlakukan oleh orang seperti apa yang kami lakukan. Tapi aku tak khawatir bahwa para PKI itu akan membalas dendam, karena sisa-sisa PKI telah kami lenyapkan pada malam ini juga.
"Man, Parmin melu kelompok opo bengi iki? (Man, adikmu ikut kelompok apa malam ini?)" Tanya salah satu temanku yang sedikit menghilangkan hening yang menemani derap langkah kami.
"Ora melu, adiku oleh lemburan neng pabrik kawet wingi. (Tidak ikut, adikku dapat lemburan di pabrik dari kemarin)" kataku.
"Padahal wong e wes sugih yo, kenopo sek tetep kerjo nek pabrik ae. Bukane kebun sayur e yo wes oleh bathi okeh. Lek aku yo mending fokus nyang kebun e ae ketimbang kerjo neng pabrik seng sangune ora sepiro. (Padahal orang kaya ya, kenapa tetap kerja di pabrik aja. Bukannya kebun sayurnya sudah dapat untung banyak. Kalau aku ya mending fokus ke kebunnya aja ketimbang kerja di pabrik yang gajinya tidak seberapa)" sahut salah satu temanku yang lain mencoba menyamakan suara untuk memecah sunyi kami.
"Yo jenenge ae nggolek rejeki ora perlu pilih-pilih. Lek pancene kerjone iso ngasilne duet opo salah e to? ( Ya namanya aja nyari rezeki tidak perlu pilih-pilih. Kalau memang kerjanya bisa menghasilkan uang apa salahnya?)" Jawabku yang seperti orang bijak.
"Lha kowe Man, kerjo opo? Ojo ngomong, cuma njalok nyang adimu hahahaha.. ( lha kamu Man, kerja apa? Jangan bilang, cuma minta ke adikmu hahahaha..)" canda temanku yang pertama kali bertanya padaku.
"Yo ora lah Nyo Nyo, Sinyo iki lak mesti gawe goro-goro karo aku. Pengen tak dadekne koyo wong-wong maeng to? Hahaha (ya tidak lah Nyo Nyo, Sinyo ini mesti cari gara-gara sama aku. Pengen aku jadiin kaya orang-orang tadi? Hahaha. Canda balasanku. Entahlah, semua candaan itu membuat kami lupa tentang penyesalan dan khawatir yang membayangi kami beberapa menit yang lalu. Semoga saja ak dan teman-temanku bisa tidur nyenyak. Paling tidak pagi ini.
~
Sudah tiga hari, Parmin tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin, adikku masih mendapatkan lembur karena ini adalah minggu pertama pabrik gula tempat adikku bekerja sedang mengolah panenan tebu dari para petani tebu dekat pabrik. Aku pikir, dia pasti akan dapat upah lembur yang banyak yang mungkin bisa aku pinjam untuk modal usahaku. Dia sangat mudah dipinjami uang, tapi kalau sudah jatuh tempo dan tak segera melunasinya. Dia akan sangat marah dan mengataiku dengan kata-kata yang sangat kasar. Aku tahu dia seperti itu karena ingin mengajarkanku sebuah tanggung jawab, dan aku memaklumi itu. Parmin adalah adikku satu-satunya yang sangat aku sayangi dan aku banggakan karena dia adalah pekerja keras yang bertanggung jawab pada keluargannya.
~
Jam sebelas siang, Tejo datang ke rumah, dengan baju batik namun tak begitu rapi untuk orang yang ingin pergi untuk mengahadiri acara pernikahan atau sunatan.
Kini dia menghadapku dengan wajah pucat pasi dan bibir yang bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu padaku.
~
"Pangapurone yo Man, utang seng nggarai aku ngelakoni iki. Parmin saben bengi nemoni aku neng ngipiku. Aku pancen ora pantes urip Man. (Maaf ya Man, hutang yang membuat aku melakukan ini. Parmin setiap malam menemui aku dalam mimpiku. Aku memang tidak oantas hidup Man)
"Asu kowe Jo, kok tego kowe karo dulurmu dewe! Cuma goro-goro utang, jenenge adiku kok tulis neng daftar iku. Kowe seng garai aku dadi pembunuh e adiku dewe. Dino iki aku yo bakal dadi pembunuhe dulurku dewe! (Anjng kamu Jo, kok tega kamu dengan daudramu sendiri! Cuma gara-gara hutang, nama adikku kamu tulis di daftar itu. Kamu yang membuat aku menjadi pembunuh adikku sendiri. Hari ini aku juga bakal jadi pembunuh saudaraku sendiri!)"
By. Saimo Am-Mattobi'i