Minggu, 14 Januari 2018

Rondo Kuning (Janda Kuning)

Theme: Horror, Non-fiksi, Myth, Urban Legend

Overture:

Sebuah cerita mengisahkan tentang penculikan anak yang terjadi di sebuah desa Wonogondo. Penculik bukanlah seorang manusia melainkan makhluk halus yang bernama Rondo Kuning (Janda Kuning) atau masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Wewe Gombel. Rondo Kuning biasanya menjelma sebagai seorang wanita cantik atau orang-orang yang dikenali ketika dia ingin menculik anak tersebut. Kisah ini terjadi sekitar tahun 1995. Sekitar 5 anak dilaporkan hilang secara misterius di kampung kami. Banyak orang yang mengatakan bahwa penculikan itu dilakukan oleh Rondo Kuning. Semua anak yang ditemukan mengalami hal yang serupa, yaitu mereka berada di bawah pohon dalam keadaan tertidur. Anak-anak tersebut juga tidak bisa berbicara dengan orang-orang di sekitarnya, dan seperti hilang ingatan dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu. Setelah mereka bisa berbicara, mereka menceritakan pengalamannya saat dia di culik. Cerita mereka sama, yaitu mereka diajak oleh seorang wanita atau orang yang dikenali oleh anak itu. Mereka tak bisa mengingat setiap detil kejadian yang dialaminya ketika berada di alam lain, yang mereka ingat hanya berada di dalam sebuah istana yang megah dengan banyak penjaga yang mengawasi mereka setiap saat. Penjaga-penjaga itu akan menjauhi anak-anak itu tatkala mereka mendengar adzan berkumandang. Ketika adzan selesai, penjaga-penjaga itu kembali mendekati mereka, begitupun seterusnya sampai anak-anak itu tersadar ketika mereka berada di rumah mereka. Mereka seperti linglung dan tak bisa berbicara, seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokan mereka, sehingga mereka tak bisa berbicara dengan orang tuanya. Kejadian tersebut membuat banyak orang tua yang melarang anaknya bermain di luar rumah ketika waktu sebelum dhuhur atau menjelang maghrib, karena itu adalah waktu dimana Rondo kuning itu menculik anak-anak kecil.

Tahun 1995, Bulan Mei

Sekitar jam 3 pagi itu, suasana kampong kami terasa tenang, hanya suara-suara jangkrik dan kodok yang bernyanyi di persawahan dekat rumah kami. Lampu-lampu di rumah dan di luar rumah tak ada yang menyala karena di desa kami masih menggunakan diesel untuk mengalirkan listrik ke setiap rumah dan jalan agar masyarakat di desa kami bisa mengakses jalan dengan mudah ketika malam hari.

Seharusnya ketika jam tersebut, aku masih terhanyut dalam kembang mimpiku. Entah kenapa, aku terbangun dan langsung bangkit dari bantal empukku. Aku duduk dan menghadap langsung pada pintu kamarku yang kebetulan aku tidur tepat di depan pintu. Di depan pintu itu, aku melihat sosok wanita yang sangat aku kenali berdiri menghadapku dengan gaun putih yang sangat cerah sekali. Dia adalah orang yang aku kira ibuku.

“Ibu mau ke pasar ya?. Aku ikut?” pintaku padanya yang saat itu aku yakin sekali dia adalah ibuku.
Aku tak mencurigainya ketika dia tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya tersenyum dan terus memandangku dengan matanya yang sayu. Aku tak merasa ada yang aneh dengannya karena aku masih berumur sekitar 3 tahun saat itu.

Dia tak menjawabku sama sekali, setelah itu dia berpaling dariku dan berjalan menuju pintu keluar rumahku seakan dia ingin aku untuk mengikutinya. Jelas saja aku mengikuti wanita itu karena aku masih sangat polos waktu itu. Aku menangis tatkala ibuku menghilang dari hadapanku. Aku terus mengejarnya seakan tak peduli bahwa saat itu hari masih sangat gelap. Aku membuka pintu rumahku dan mengikutinya, seakan kami memiliki jarak yang terus sama meskipun aku berlari sekencang-kencangnya untuk mengejar ibuku itu. Aku berlari seperti aku berjalan di tempat yang terang. Aku tak menabrak apapun ataupun tersandung, yang secara logika aku tak mungkin bisa melihat di dalam kegelapan. Sungguh aneh, tapi itu terjadi dan aku mengaaminya.

“Oee.... oeeee... oeee...”, suara tangisan bayi yang ada di rumah dimana aku berlari mengejar ibukku
Suara tangisan bayi itu seperti sirine sebagai tanda berhentinya permaian kejar-kejaranku dengan ibuku. Saat itu juga tiba-tiba mataku seperti buta dan yang aku lihat hanyalah kegelapan, aku sangat takut. Tapi secara langsung aku tersadar, bukan mataku yang salah tapi memang waktu itu memang masih sangatlah gelap. Aku benar-benar tak dapat melihat apa-apa tak seperti waktu berlarian mengejar ibuku beberapa menit yang lalu. Bersama dengan gelap yang tiba-tiba datang, sosok yang seperti ibuku tadi lenyap seperti termakan oleh pekatnya kegelapan itu.

Aku duduk dan menangis sekeras-kerasnya karena rasa takutku yang sangat pada kegelapan. Sampai datang seseorang yang sangat gelap dan langsung menggendongku. Aku pingsan.

“Bintang? Apa yang terjadi nak?” suara ayahku membangunkanku.

Di dekat ayahku, ada saudara-saudaraku yang beberapa jam lalu tidur di sampingku. Di samping kakiku berbaring ada ibuku. Ibuku yang sebenarnya. Dia tak memakai gaun putih seperti “ibuku” yang barusan aku mengejarnya.

Aku menceritakan semuanya pada mereka tentang pengalaman yang baru saja aku alami. Pagi yang cerah datang tak seperti kegelapan yang menakutkan 4 jam yang lalu. Bersama pagi itu, banyak tetangga yang datang untuk sekedar membuat pertanyaan yang sama seperti ayah dan ibuku subuh tadi. Mereka yang datang bukan tidak ada alasan, tapi mereka khawatir kalau kejadian itu menimpa anak-anak mereka yang juga teman-teman sepermainanku. Banyak yang bilang kalau aku anak yang beruntung karena tak diculik oleh Rondo Kuning.

“Kalau kamu jadi diculik oleh Rondo Kuning, kamu bakal ditaruh di sebuah pohon yang besar yang ada di hutan itu nak” kata Bu Eni, salah satu tetangga yang menjengukku menujukkan tempat pohon besar itu berada dengan jari telunjuknya. Jujur saja aku sangat ketakutan mendengar perkataan tetanggaku itu. Pohon besar? Dalam hutan? Membayangkannya saja membuat bulu kudukku berdiri semua.

Bisa dibilang itu adalah keberuntunganku karena aku tidak menjadi salah satu anak yang diculik oleh Rondo kuning. Aku percaya bahwa tangisan bayi tetanggaku menyelamatkanku dari kejadian yang mengerikan itu.

Satu bulan kemudian, anak di RT sebelah di culik oleh Rondo Kuning dan dia ditemukan di dalam lubang pohon besar di hutan yang ditunjukkan bu Eni padaku waktu itu.

By. Saimo Am-Mattobi’i


Sabtu, 13 Januari 2018

Lelaki Pengagum Langit Dan Pohon Mimpi

Aku adalah seorang anak dari sepasang kekasih yang ada di dalam diorama asmara yang tak sengaja bertemu di hutan belantara.

Sedikit kisah tentang mereka. Ayahku adalah seorang laki-laki yang dulu bertubuh kekar karena dia bekerja sebagai kuli panggul batu di puncak gunung berapi yang sedang lelap dalam tidurnya. Kini dia hanyalah seorang lelaki tua yang kurus kerontang karena penyakit yang telah menjangkitnya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Sedangkan ibuku dulu adalah kembang desa, wajahnya cantik bahkan sampai sekarang. Banyak saudagar-saudagar kaya yang ingin meminangnya, tapi semua di tolak.

Aku tak tahu apa yang menjadikan ibuku dulu begitu sombong pada lelaki yang mau meminangnya. Pikirku dia mungkin pilih-pilih  lelaki yang cocok untuknya, karena dia cantik dan dia harus punya pasangan yang tampan untuknya. Tapi yang aku lihat, ayahku bukan termasuk laki-laki yang tampan apalagi kaya raya. Orang bilang wajahku mirip ayahku, jadi aku yakin bahwa ayahku bukanlah lelaki yang tampan dan begitu menarik apalagi bisa mencuri hati seorang wanita cantik seperti ibuku. Tak tahulah, memang benar kata tuhan. Hanya takdir yang akan bisa menentukan sebuah nasib manusia.

Mereka bertemu ketika ibuku mendaki gunung untuk menghibur diri. Ibuku terpeleset dan jatuh di sebuah jurang yang tak begitu curam tapi begitu menakutkan dan menyakitkan untuk seorang wanita seperti dia. Ayahku menolong ibuku dan membawanya ke puskesmas dekat rumahku. Berbekal uang 10 ribu hasil upah mengumpulkan batu Andesit di rumah pengepul kala itu. Kalau sekarang uang itu hanya cukup untuk beli sebungkus nasi di sebuah warteg. Ayahku menunggu ibuku yang kala itu belum sadarkan diri. Bukan karena ayahku tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan wanita yang menjadi pujaan para saudagar kaya itu, tapi ayahku tidak tahu mau menghubungi siapa waktu itu dan tak mungkin dia meninggalkan wanita cantik itu sendiri dan membayar semua biaya perawatannya sendiri. Ayahku berpikir, ibuku tak mungkin menyiapkan uang untuk perawatan karena ibuku ke gunung bukan berniat untuk jatuh ke jurang dan membayar pengobatannya.

Begitulah awal mereka bertemu dan jalinan kasih yang seperti sinetron itu melibatkan kedua orang tuaku sendiri sedikit demi sedikit tumbuh subur. Akhirnya mereka menikah dan lahirlah aku. Bagiku, itu seperti cerita sepele dan tak mungkin akan bisa menumbuhkan beneih-benih cinta, apalagi ibuku sudah menolak banyak lelaki-lelaki yang telah meminangnya dan sekarang jatuh hati pada seorang lelaki yang tak begitu tampan dan juga punya banyak harta. Yah begitulah namanya takdir. Semua akan terasa mudah kalau memang berjodoh.

Itulah kenapa Aku senang sekali pergi ke atas gunung dan merebahkan badanku di atas rumput sambil melihat awan-awan yang menari-nari di atas angin. Aku sering datang di tempat ini, di atas rumput yang hijau di bawah pohon yang tegak berdiri sendiri ini. Aku selalu terlelap selapas melihat awan-awan itu. Pernah sekali, aku tertidur di bawah pohon ini sampai langit mulai gelap. Dan tak ada siapa-siapa di sana selain aku, kumpulan rumput-rumput kecil, sebatang pohon dan bulan yang di temani bintang-bintang yang bertebaran di langit gelap. Terasa nyaman melihat lukisan tuhan di langit malam itu dan begitu mengerikan buatku karena aku harus pulang saat itu juga dari hutan yang gelap. Hanya sinar dari bulan dan bintang sebagai penerangku malam itu. Aku tak akan melakukannya lagi sejak saat itu, meskipun aku juga tak melupakan keajaiban malam itu. Untuk tidak terlelap sampai malam.

Ada alasan lain kenapa aku suka memandangi langit dan terlelap di atas gunung itu. Wanita dalam mimpiku itu salah satu alasan utamaku, sebenarnya. Wanita yang selalu datang padaku ketika aku terlelap dalam tidurku. Dia sering menemaniku. Dia bercerita banyak hal padaku, tentang apa yang dia suka dan tidak dia sukai. Begitupun denganku. Dia wanita yang sangat cantik, bahkan lebih cantik ketimbang ibuku. Senyumnya yang selalu membuat hatiku tertawan dan seakan mataku membeku sehingga sulit untuk memalingkannya.

Namanya Angel. Dilihat dari wajah dan tubuhnya, dia wanita yang berumur sekitar 3 tahun lebih tua dariku, tapi aku tak mempedulikannya. Lagian dia hanyalah wanita dalam mimpi dan aku mengaguminya. Aku tak tahu dari mana asalnya dan aku tak mau mengetahuinya. Yang aku tahu, aku sangat mencintainya.

"Kamu selalu ceria ketika aku datang, apa kamu menyukaiku?" Tanya Angel secara langsung yang membuat tubuhku mati rasa seketika ketika dia muncul dari balik pohon ini.Bukan karena kehadirannya yang secara tiba-tiba, tapi kata yang dia ucap.

"Emm.. begitulah.." jawabku terbata-bata dengan senyum bercampur dengan keringat yang tiba-tiba bercucuran di keningku karena aku tak mempersiapkan jawaban untuk pertanyaannya.

"Emmm, kamu suka aku ya?" Katanya menggodaku dengan senyumannya yang selalu terlihat menawan seakan-akan menepuk-nepuk hatiku.

"Aduh jangan gitu dong, aku hanya senang kamu datang. Eh aku tadi lihat awan yang begitu bagus, seperti sepasang burung yang sedang terbang" aku mengalihkan pembicaraan agar aku tak terlarut dalam kata-katanya yang sangat sensitif itu. Bagiku.

"Oh iya? Sama kaya kita ya, sepasang kekasih yang bertemu dalam mimpi". Godaannya semakin parah dan aku tak bisa berkutik saat itu juga.

"Kekasih?" Tanyaku dengan sedikit meyakinkan bahwa aku tidah salah mendengarkan.

"Iya, kekasih. Kenapa? Kamu tak suka aku bilang seperti itu?" Tanyanya yang aku pikir dia serius dengan perkataannya.

"Bukan begitu, tapi aku... emm". Aku benar-benar mati kutu dan tak bisa berkata apa-apa padanya.

"Yaudah deh, teman. Duh ngeselin deh kamu", katanya dengan sedikit jengkel terlihat dari raut wajahnya. Setelah itu, dia memalingkan wajahnya ke atas langit.

"Eh lihat deh, awan itu kaya kepala monyet ya. Seperti kamu, lucu", tangannya menunjuk ke langit dengan senyumnya yang tak pernah berhenti di wajahnya.

"Iya". Jujur saja, aku tak melihat awan yang dia tunjukkannya padaku. Yang aku lihat hanyalah senyuman itu.

"Angel, aku benar-benar mencintaimu. Aku senang ketika kamu mengatakan bahwa kita adalah sepasang kekasih. Itu adalah kata-kata yang sangat aku inginkan keluar dari mulutmu. Tapi Angel, meskipun kita saling cinta. Kamu hanyalah ilusi dalam mimpiku yang selalu keluar dari pohon ini, aku tak mungkin memilikimu. Itu mustahil. Sungguh menyakitkan, kalau aku mencintai sebuah khayalan. Aku benci sebuah kenyataan. Aku ingin menjadi sebuah ilusi sepertimu, agar aku bisa memilikimu."

"Pohon, jangan kamu hilang. Aku yakin kamu adalah pelaku dari kehadiran sosok Angel dalam hidupku. Jika kamu mati, aku tahu Angel juga akan pergi".


By. Saimo Am-Mattobi'i

Kamis, 11 Januari 2018

Dear Angel, Mantan Kekasihku

Kau tahu, Angel? Aku selalu jujur padamu. Apalagi perihal perkataanku sore itu, saat kau mencampakkanku. "Jangan mencemaskan aku. Aku sudah berulang kali mengalami ini, dicampakkan oleh wanita yang sangat aku sayangi. Aku tak akan mati hanya karena hal seperti ini." Kataku pelan dengan senyum yang sedikit aku paksakan.

Kau bilang pasti akan ada wanita yang akan datang padaku dengan membawa perasaan yang baru. Aku tahu kau hanya ingin menghiburku, waktu itu. "Iya, aku yakin itu dan aku pastikan itu" suaraku parau karena tanpa sadar air mataku menetes.

Seaindainya saja, Angel. Kau beri waktu sedikit saja padaku untuk menunjukkan keseriusanku padamu. Tapi apalah arti usahaku itu semua, kalau memang hatimu sudah tak bersamaku. Aku juga sadar sesuatu yang datang pasti akan pergi pada waktunya nanti, begitu juga denganmu.

Kini hal yang harus aku lakukan adalah menata hatiku dengan kesibukan yang aku sengaja agar aku tak terlalu memikirkanmu, mungkin untuk waktu yang lama. Aku harap suatu saat nanti ketika kita bertemu - jika ada, semoga kita sudah selesai dengan urusan hati kita masing-masing. "Aku juga masih mencintaimu, tapi aku tak mau lagi berurusan dengan romantisme asmara lagi. Aku hanya ingin menjadi sahabatmu. Jadi, kau tak akan lagi merasa tarsakiti olehku dan merasa bosan denganku." Dalam khayalanku di tahun kedua, ketiga atau keempat setelah kita berpisah nanti.
Aku tahu, kau tak mungkin berpikir sejauh itu, Angel. Yang aku tahu darimu, kau wanita yang punya pendirian kuat. Ketika melepaskan sesuatu, kau tak kan mau berurusan dengannya lagi. Selain itu kau punya impian yang besar dan akan melakukan segalanya untuk mencapai impian itu, berbeda denganku yang hanya bisa berandai-andai tanpa melakukan apapun untuk impianku.

Meskipun sekarang kau tak mempedulikanku, aku selalu melantunkan doa disela malamku untukmu agar kau bisa mencapai cita-citamu itu yang seharusnya kau tak pantas dapatkannya. Doa itu. Tapi entahlah. Setiap kali aku mengenangmu, tak sampai hati aku mengutukmu.

Anggap saja itu adalah upahmu karena merelakan waktumu untuk bersamaku, ketika cintamu padaku masih bersemayam dalam hatimu dulu, Angel.

By. Saimi Am-Mattobi'i
Gitar Tua Dan Kakek Yang Lumpuh

Overture
Aku yakin bahwa sebuah kekuatan yang besar telah membawaku ke tempat seperti ini. Ke dunia yang kakek buyutku bilang itu adalah "Dunia Ratapan". Aku akan larut dalam kesedihan jika aku berada di sana.

Story
Malam itu sekitar pukul 11.50 tepat, aku menulis sebuah cerita pendek yang biasanya aku melakukannya tiap malam ketika aku terjaga dari tidurku. Kalau tidak, biasanya aku bermain gitar dan bernyanyi semalaman bahkan terkadang aku melakukannya hingga matahari mengintip dari balik jendela kamarku. Aku senang melakukannya, karena menulis dan bermain gitar adalah hobiku dan hal yang sangat aku cintai.

"Teng teng teng...." tepat pukul 12.00. Tapi bersamaan dengan bunyi dentang jam itu berbunyi, aku merasakan bahwa malam ini benar-benar berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Udara di sekitarku terasa sangat kencang tapi sangat hangat.

"Kak Ros, kakak matiin ya AC'nya?" Tanyaku pada kakakku yang kebetulan hanya kami berdua yang tinggal di rumah peninggalan almarhum kedua orang tua kami.

Karena tak ada tanggapan dari kakakku yang memang aku pikir tak mungkin kakakku mendengar perkataanku, aku pergi ke kamarnya. Benar saja, aku dapati dia sudah tidur pulas di atas tempat tidurnya setelah aku membuka pintu kamarnya. Tapi bukan itu masalahnya. Karena aku merasa udara di dalam rumah terasa panas atau hangat lebih tepatnya. Aku kira AC di ruang tengah yang bersampingan dengan kamarku itu mati. Tapi yang aku dapatkan adalah, AC itu tetap menyala. Hal yang membuatku curiga adalah meskipun AC menyala, tak ada sensasi dingin dari udara yang keluar dari bilik pintu AC tersebut. Aku mencoba untuk mencari remote AC untuk menaikkan volume level AC tersebut.

"Wuuuiiissshhh" suara aneh terdengar dari kamarku. Rasa penasaranku dengan suara itu membuatku lupa bahwa ada hal yang harus aku lakukan. Mencari remote AC. Setapak demi setapak aku langkahkan dengan sangat pelan. Pikirku mungkin ada seseorang masuk kamarku untuk mencuri sesuatu di sana.

Aku mulai mengintip dari balik tembok di samping pintu kamarku. Tak satupun aku menemukan sosok seorang atau mungkin hewan seperti kucing atau apalah di sana. "Sukurlah" dalam hatiku dengan menghela nafas panjang untuk menghilangkan rasa tegang yang membuat jantungku berdetak tak karuan.

Saat semua kembali normal dan aku merasa tak ada apapun, aku langkahkan kakiku menuju kamarku. Sayangnya, langkah pertama yang aku lakukan itu adalah langkah untuk sebuah perjalananku menuju dunia yang tak pernah kusangka akan terjadi padaku. Sebuah ruang aneh yang sebelumnya adalah kamarku yang aku tinggal beberapa menit lalu dan sempat masih aku lihat beberapa detik lalu telah terpampang di depan kepala mataku sendiri.

Dunia Ratapan

Tak kusangka, sebuah cerita dongeng dari kakek buyutku dulu yang aku anggap hanyalah cerita sebelum tidur yang hanya akan membuatku mimpi buruk sekarang telah menjadi sebuah kisah nyata yang melibatkan aku dalam cerita itu.

Aku membuka mataku lebar-lebar seakan tak percaya aku mengalaminya. Aku melihat seorang kakek yang duduk di atas kursi ayun tepat di sampingku berdiri. Ada sebuah almari yang tertutup rapat di dekat jendela, di sampingnya, ada sebuah gitar tua yang seperti sudah lama tak terpakai karena banyak jaring laba-laba yang menempel pada senar gitar itu. Selain itu banyak kertas-kertas berceceran di mana-mana. Aku mendekati kakek tua itu. Sekarang aku merendahkan badanku berada tepat di depannya. Aku hanya melihat mata kakek itu tak lepas dari kaca jendela yang ada di samping almari dan di depan kasur yang sudah kumuh itu. Dia terus memandang jendela itu dan menganggap seakan-akan aku tak ada di depannya. Matanya terus memandang jendela itu dan bibirnya komat-kamit seperti mengatakan sesuatu. Aku mencoba mendengarkan dengan teliti apa yang dia katakan.

"Kapan kamu datang kak?" Kata itu yang terus diucap secara berulang.

Aku mencoba memahami apa yang dia maksudkan dengan mengatakan kata-kata itu terus menerus. Semakin aku memikirkan kata-kata itu, aku semakin bingung. Yang terbesit dalam pikiranku adalah "mungkin dia sedang menunggu kakaknya yang sedang pergi untuk mencari bahan masak untuknya malam ini". Aku mencoba bertanya pada kakek tua itu, "apakah kakakmu pergi ke pasar untuk membelikanmu makanan?". Kakek tua itu hanya menggeleng dan terus mengatakan kata-kata yang sama.

"Apakah kakakmu sudah tak mau mengunjungimu lagi" tanyaku mencoba memancingnya untuk memberi jawaban. Paling tidak dia memberi respon padaku dengan menggeleng atau mengangguk, jadi aku bisa tahu. Dan jawabannya adalah "tidak".
"Apa dia sudah meninggal?". Tanyaku sedikit pelan agar tak membuatnya sedih.

Benar saja, dia tidak hanya bersedih tapi seperti terlihat marah padaku ketika dia melototiku dan mengerutkan dahinya.

"Iya, aku yang membuat dia mati!" Suara kakek itu membuat telingaku terasa sakit karena teriakannya. Tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu seakan menunjukkan penyesalan. Jujur saja, tangisannya membuatku tak ingin lama-lama berdekatan dengannya karena aku takut ikut suasana hatinya.
Tepat di sampingku merendahkan badanku, ada satu lembar diantara lembar-lembar kertas yang berserakan di ruangan ini. Aku mengambilnya dan membacanya.

"Maafkan aku kak Ros, aku tak bermaksud membunuhmu. Aku sangat mencintaimu kak Ros. Jangan tinggalkan aku"

Itu adalah kata-kata yang tak ingin aku baca yang hanya akan membuat bulu kudukku berdiri. Aku mulai mengerti, ternyata dia adalah aku di masa depan. Dan aku adalah seorang pembunuh di masa depan. Dan aku adalah pembunuh kakakku. Aku menangis sejadi-jadinya pada saat itu juga.

Aku memaki kakek tua itu yang sama saja aku sedang memaki diriku sendiri.

"Kau pembunuh! Ya tuhan, kenapa kau lakukan ini pada kak Ros! Apa yang kau lakukan, brengsek!" Aku menangis, tapi aku menangisi kesalahanku di masa depan. Aku seorang pembunuh. Benar apa kata kakekku, ketika aku masuk ke dalam Dunia Ratapan, aku akan larut dalam kesedihan di dunia itu. Dan aku alami itu sekarang meskipun itu belum terjadi padaku saat ini.

"Kreeeeeek" suara dari pintu almari yang ada berada tepat di sebelah jendela itu. Di dalam sana ada pemandangan yang mengerikan untuk dilihat sekaligus aneh untuk dipahami. Sesosok mayat yang sama sekali tak aku kenali. Sosok mayat laki-laki yang terbujur kaku dengan pisau yang menancap pada perutnya.

By. Saimo Am-mattobi'i


An Old City

What I had in my mind about an old city is about a place that had experienced the war in the past or about colonialism that had ever occupied a land encompassing this place, a long time ago.

This old city is one of the beautiful places and this is like paradise for the tourists to visit this place their holiday vacations. It was so green and wide landscape as long as we saw from the corner or midst. This is one of beautiful places in the world. I think. If I had some pilgrimages to some holy places in this city, I never missed my map in my hand. I thought, it will never be something pleasant to stray into wrong path in my little adventure if I had no map in my hand.

One day, I met an old man on the street of Breakwall. I intended to say hello to him because I was a new comer of this old city. With trepidation, he responded my say hello with his slightly smile as his formality custom. I knew he did that because he thought that i was a stranger and he might reluctant to have any chatting phase with "strange young man dude" like me.

However, people here were friendly in my sight just for a while until i got this old man's respond. I said in mumble to my heart, "Am I that too dangerous for this man? Or am I one of vice ring that want to abduct this guy or else?". Yes, this is my inevitability to analyze something or to what I was experiencing negatively.

"Hey, dude. Are you looking for something?", a handsome young man approached me from a distance.

"Oh, yes. I'm new comer here and I'm looking for this place". I pointed out the small picture of building on my map.

“Well, I think that you have a wrong direction, dude. This way only leads to you to a market place". He said firmly to convince me that it was true. "You have to go to here, then you walk toward this place, and you'll find your destination". he put his index finger to spot I was standing and drag it upon the dot picture a little far from my place on the map.

"Oh god, you save me. I'm really happy with your help, dude." I was thankful to his remarkable enlightment.

"I'm Evan. What's your name?". Said this handsome young man swope my gleaming face in a while with his decorous question. I forgot to introduce myself in minutes before.

"I'm Brian".

I thought that i had to change my mindset again about people in this city about an arogance before I met him. Evan.

I knew that those civilians were friendly but that old man only as an exception. I had to think about the frailty that made that old man seemed to be afraid of me. He might be a veteran that had a lot of experiences those were related to strangers or He thought that strangers were related to colonialism that will occupy his land, might be.

By. Saimo Am-Mattobi'i