Rondo Kuning (Janda Kuning)
Theme: Horror, Non-fiksi, Myth, Urban Legend
Overture:
Sebuah cerita mengisahkan tentang penculikan anak yang terjadi di sebuah desa Wonogondo. Penculik bukanlah seorang manusia melainkan makhluk halus yang bernama Rondo Kuning (Janda Kuning) atau masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Wewe Gombel. Rondo Kuning biasanya menjelma sebagai seorang wanita cantik atau orang-orang yang dikenali ketika dia ingin menculik anak tersebut. Kisah ini terjadi sekitar tahun 1995. Sekitar 5 anak dilaporkan hilang secara misterius di kampung kami. Banyak orang yang mengatakan bahwa penculikan itu dilakukan oleh Rondo Kuning. Semua anak yang ditemukan mengalami hal yang serupa, yaitu mereka berada di bawah pohon dalam keadaan tertidur. Anak-anak tersebut juga tidak bisa berbicara dengan orang-orang di sekitarnya, dan seperti hilang ingatan dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu. Setelah mereka bisa berbicara, mereka menceritakan pengalamannya saat dia di culik. Cerita mereka sama, yaitu mereka diajak oleh seorang wanita atau orang yang dikenali oleh anak itu. Mereka tak bisa mengingat setiap detil kejadian yang dialaminya ketika berada di alam lain, yang mereka ingat hanya berada di dalam sebuah istana yang megah dengan banyak penjaga yang mengawasi mereka setiap saat. Penjaga-penjaga itu akan menjauhi anak-anak itu tatkala mereka mendengar adzan berkumandang. Ketika adzan selesai, penjaga-penjaga itu kembali mendekati mereka, begitupun seterusnya sampai anak-anak itu tersadar ketika mereka berada di rumah mereka. Mereka seperti linglung dan tak bisa berbicara, seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokan mereka, sehingga mereka tak bisa berbicara dengan orang tuanya. Kejadian tersebut membuat banyak orang tua yang melarang anaknya bermain di luar rumah ketika waktu sebelum dhuhur atau menjelang maghrib, karena itu adalah waktu dimana Rondo kuning itu menculik anak-anak kecil.
Tahun 1995, Bulan Mei
Sekitar jam 3 pagi itu, suasana kampong kami terasa tenang, hanya suara-suara jangkrik dan kodok yang bernyanyi di persawahan dekat rumah kami. Lampu-lampu di rumah dan di luar rumah tak ada yang menyala karena di desa kami masih menggunakan diesel untuk mengalirkan listrik ke setiap rumah dan jalan agar masyarakat di desa kami bisa mengakses jalan dengan mudah ketika malam hari.
Seharusnya ketika jam tersebut, aku masih terhanyut dalam kembang mimpiku. Entah kenapa, aku terbangun dan langsung bangkit dari bantal empukku. Aku duduk dan menghadap langsung pada pintu kamarku yang kebetulan aku tidur tepat di depan pintu. Di depan pintu itu, aku melihat sosok wanita yang sangat aku kenali berdiri menghadapku dengan gaun putih yang sangat cerah sekali. Dia adalah orang yang aku kira ibuku.
“Ibu mau ke pasar ya?. Aku ikut?” pintaku padanya yang saat itu aku yakin sekali dia adalah ibuku.
Aku tak mencurigainya ketika dia tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya tersenyum dan terus memandangku dengan matanya yang sayu. Aku tak merasa ada yang aneh dengannya karena aku masih berumur sekitar 3 tahun saat itu.
Dia tak menjawabku sama sekali, setelah itu dia berpaling dariku dan berjalan menuju pintu keluar rumahku seakan dia ingin aku untuk mengikutinya. Jelas saja aku mengikuti wanita itu karena aku masih sangat polos waktu itu. Aku menangis tatkala ibuku menghilang dari hadapanku. Aku terus mengejarnya seakan tak peduli bahwa saat itu hari masih sangat gelap. Aku membuka pintu rumahku dan mengikutinya, seakan kami memiliki jarak yang terus sama meskipun aku berlari sekencang-kencangnya untuk mengejar ibuku itu. Aku berlari seperti aku berjalan di tempat yang terang. Aku tak menabrak apapun ataupun tersandung, yang secara logika aku tak mungkin bisa melihat di dalam kegelapan. Sungguh aneh, tapi itu terjadi dan aku mengaaminya.
“Oee.... oeeee... oeee...”, suara tangisan bayi yang ada di rumah dimana aku berlari mengejar ibukku
Suara tangisan bayi itu seperti sirine sebagai tanda berhentinya permaian kejar-kejaranku dengan ibuku. Saat itu juga tiba-tiba mataku seperti buta dan yang aku lihat hanyalah kegelapan, aku sangat takut. Tapi secara langsung aku tersadar, bukan mataku yang salah tapi memang waktu itu memang masih sangatlah gelap. Aku benar-benar tak dapat melihat apa-apa tak seperti waktu berlarian mengejar ibuku beberapa menit yang lalu. Bersama dengan gelap yang tiba-tiba datang, sosok yang seperti ibuku tadi lenyap seperti termakan oleh pekatnya kegelapan itu.
Aku duduk dan menangis sekeras-kerasnya karena rasa takutku yang sangat pada kegelapan. Sampai datang seseorang yang sangat gelap dan langsung menggendongku. Aku pingsan.
“Bintang? Apa yang terjadi nak?” suara ayahku membangunkanku.
Di dekat ayahku, ada saudara-saudaraku yang beberapa jam lalu tidur di sampingku. Di samping kakiku berbaring ada ibuku. Ibuku yang sebenarnya. Dia tak memakai gaun putih seperti “ibuku” yang barusan aku mengejarnya.
Aku menceritakan semuanya pada mereka tentang pengalaman yang baru saja aku alami. Pagi yang cerah datang tak seperti kegelapan yang menakutkan 4 jam yang lalu. Bersama pagi itu, banyak tetangga yang datang untuk sekedar membuat pertanyaan yang sama seperti ayah dan ibuku subuh tadi. Mereka yang datang bukan tidak ada alasan, tapi mereka khawatir kalau kejadian itu menimpa anak-anak mereka yang juga teman-teman sepermainanku. Banyak yang bilang kalau aku anak yang beruntung karena tak diculik oleh Rondo Kuning.
“Kalau kamu jadi diculik oleh Rondo Kuning, kamu bakal ditaruh di sebuah pohon yang besar yang ada di hutan itu nak” kata Bu Eni, salah satu tetangga yang menjengukku menujukkan tempat pohon besar itu berada dengan jari telunjuknya. Jujur saja aku sangat ketakutan mendengar perkataan tetanggaku itu. Pohon besar? Dalam hutan? Membayangkannya saja membuat bulu kudukku berdiri semua.
Bisa dibilang itu adalah keberuntunganku karena aku tidak menjadi salah satu anak yang diculik oleh Rondo kuning. Aku percaya bahwa tangisan bayi tetanggaku menyelamatkanku dari kejadian yang mengerikan itu.
Satu bulan kemudian, anak di RT sebelah di culik oleh Rondo Kuning dan dia ditemukan di dalam lubang pohon besar di hutan yang ditunjukkan bu Eni padaku waktu itu.
By. Saimo Am-Mattobi’i