Minggu, 02 Desember 2018

Emperan Seni

Di atas emperan, dua orang pemuda sedang membuka-buka halaman buku yang isinya lirik lagu yang juga lengkap dengan kunci gitarnya. Mereka membeli buku itu di toko buku, dekat pasar kembangnya kota Trenggalek. Alasannya, karena mereka cuma pengen bernyanyi dengan genjrengan gitar yang abal-abal dan juga suara yang ndak pas layaknya bunyi "gembreng diseret". Pranyoto yang menggitar, sedangkan Sungep yang nyanyi. Ndak tanggung-tanggung, dalam waktu tiga menit saja, mereka sudah menyanyikan lima lagu. Bagaimana tidak, lha wong mereka yo cuma hafal beberapa nada dari semua lagu itu kok, seperti pengamen-pengamen yang sukanya menyuarakan suaranya di perumahan para janda-janda semok itu tuh. Namanya perumahan Kolor Sangit. Namun, mereka ndak suka mengamen kelihatannya. Hidup mereka juga sudah berkecukupan; Rumah megah, mobil gres kinyis-kinyis, duit embres-embresan di plataran, dan juga pakaian yang wanginya selalu berganti-ganti. Lagian, mereka ndak suka janda. Sukanya anak-anak SMP yang anunya sudah gede, plus perawan. Makanya, mereka lebih senang bernyanyi di emperan rumahnya Pranyoto, biar cewek-cewek SMP yang lewat di depan rumahnya bisa dengerin mereka nyanyi. Ya, istilahnya TP-TP lah.

"To, menurutmu kita ini sudah jadi musisi atau seniman apa belum?" Tanya Sungep ke Pranyoto.

"Ya sudah dua-duanya lah, Ngep. Kenapa kamu tanya gitu? Udah kaya Host yang kondang di Mata Najwa itu aja" jawab Pranyoto ke Sungep.

"Yo ndak gitu. Aku itu tiba-tiba kepikiran. Kan biasanya nih ya. Di TV-TV itu mesti nyebut orang yang ngeband atau penyanyi solo dengan sebutan musisi, bukan seniman." Tanya Sungep sedikit kritis ke Pranyoto.

"Lha yo ngapain kamu mikirin hal gituan. Lebih enak mikirin, gimana caranya biar Lastri bisa kepincut ke aku dan Tomblok naksir ke kamu. Masalah mereka disebut musisi atau seniman ya haknya yang nyebut to. Lagian gak salah mereka menyebut para Band kondang dan juga penyanyi-penyanyi cantik itu dengan sebutan musisi atau seniman." Jawab Pranyoto lebih kritis ketimbang Sungep.

"Menurutmu, seniman iku gimana sih?" Tanya Sungep lagi ke Pranyoto.

"Lek menurutku yo Ngep. Seniman itu adalah orang yang menggeluti dunia seni, baik seni musik, seni rupa atau seni tari. Mereka itulah yang disebut seniman." Pencerahan Pranyoto ke Sungep yang secara menggebu-gebu mendramatisir penjelasannya layaknya seorang pujangga di atas panggung emperan.

Mata Sungep berkaca-kaca. Kakinya seakan jatuh tertimpa tangga. Tak bisa bergerak sepertinya, Akibat ulah Pranyoto yang ternyata memukau orang-orang yang berjalan di depan rumahnya. Pun ayah dan ibunya yang sejak tadi mengintip pembicaraan tak penting dari kedua pemuda itu.

"Seni iku Ngep yo, adalah keahlian membuat karya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusannya dan keindahannya. Itu menurut kamus besar Indonesia. Sedangkan menurut  Dr. Sudarmadji, Seni adalah segala manifestasi batin dan pengalaman estetis dengan menggunakan media bidang,garis,warna,tekstur,volume dan gelap terang." Penjelasan terusannya Pranyoto dengan mengintip tulisannya Mbah Google di HP miliknya.

"Tapi aku ndak begitu cocok kalau seni itu digunakan dalam kata 'Air Seni' Ngep. Alasannya ya, seni itu ya yang aku jelasin tadi lo, ada unsur estetisnya dan juga manifestasi batinnya, tadi. Aku lebih cocok kalau jadi 'Seni Air', itu bisa klop dengan arti seni itu sendiri. Ada ungkapan rasa dan kemampuan dalam membuat sebuah karya. Bayangkan saja, kalau 'Air Seni' itu dirubah menjadi 'Seni Air'. Orang-orang maupun anjing bisa lebih menghayati ungkapan rasa mereka yang tak tertahankan untuk keluar menjadi karya. Contohnya kamu ya Ngep, kamu nanti bisa lebih menghargai pipis kamu yang kamu buang ketika pipis kamu menjadi sebuah karya seni. Sedangkan 'Air Seni' itu tak memberikan penghargaan kepada seni itu sendiri. Itu sama halnya kaya Air comberan, yang harus dibuang tanpa memberikan penghargaan kepada comberan itu. Karena Comberan itu adalah sesuatu yang menjijikkan. Coba kamu pikir, enak mana bilang 'Aku mau buang air seni' dengan 'Aku pengen melakukan Seni Air'? Lebih enak 'Seni Air' kan? Itu bahkan akan memberi kesan bahwa Seni itu harus menjadi artian yang bagus dimanapun tempat kata Seni itu digunakan ataupun gigabungkan dengan kata yang lain." Penjelasan Pranyoto yang bahkan jauh lebih mutakhir dari sebelumnya, sampai-sampai kedua orang tua Pranyoto menangis tak henti-hentinya akibat ulah anaknya lagi.

"Kamu ngomong apa To To, aku malah ndak dong. Ini tadi masalah musisi kok malah njlentrek ke 'Air Seni' 'Seni Air' lah lah! Kamu kok semakin kayak orang stres gara-gara Lastri ndang ndak bisa kamu dapetin. Apa kamu juga pengen, membuat sebuah 'Seni Air' di depannya Lastri? Kan ndak mungkin to? Ya soalnya memang pipis kamu ndak ada estetisnya atau unsur keindahannya. Bahkan ketika kamu keluarin alatnya saja, sudah bikin Lastri lari ketakutan. Dikira kamu mau Ngendoki dia."

"Ya ndak gitu, Ngep. Maksudku itu ya...."

Pembicaraan mereka semakin tak bisa diterima oleh kata. Bahkan kata-kata mereka saja sulit untuk dituliskan di sini saking njelimetnya.

Setelah beberapa abad berlalu, perdebatan Pranyoto dan Sungep tak kunjung disudahi di emperan itu.

Lantas, datanglah Doleh yang sudah menenteng Kanvas yang dibungkus apik dengan kertas koran berita "Seputar Nggalek Ae". Korannya agak kisut. Ya jelas, wong tanggal terbitan korannya itu sudah kadaluarsa sejak dua minggu yang lalu.

"Leh, mau kemana kamu, kok jalannya cepet banget? Mau ada acara to?" Tanya Pranyoto dan Sungep yang sama persis dan bareng tanpa tertinggal sedetikpun ucapan salah satu dari mereka berdua.

"Iya ini. Aku mau ngirim karyaku yang ternyata dilirik sama kolektor jepang, kemarin. Karyaku dihargai 5 M, dan sekarang aku harus kirimkan ini ke Jakarta berhubung orangnya belum balik." Jawab Doleh dengan wajah Thola-Tholonya.

"Jabang bayi, kok ya mujur Leh? Perasaan, kamu ndak pernah jadi seniman. Kok sekarang malah semakin jos?" Tanya Pranyoto dan Sungep bareng lagi dan tentu saja tak satupun tertinggal sedetik untuk mengucapkannya.

"Ya iya nda, aku udah capek dengerin kalian ngomongin seni lah, karya lah, musisi lah, jemburis lah, anumu lah, gedi lah. Mending aku buat karya saja, ketimbang hanya ngomong saja tapi tak satupun karya muncul. Iya to, saja ku?" Kata Doleh yang mengguncangkan dunia percangkeman antar manusia dan tentu saja ndelalah mencuri hati pujaannya Pranyoto dan Sungep; Lastri Malan Kacuk dan juga Tomblok Dila Nangi  yang memang sudah seharusnya dicuri sejak dulu oleh Doleh.

Akhirnya, Pranyoto dan Sungep menangis tak henti-hentinya selama beberapa abad lagi yang akhirnya membuat mereka mati akibat kepanasan.

Sudah...

~

Namun belum tamat, karena beberapa abad kemudian Pranyoto dan Sungep kembali hidup untuk meminta maaf kepada kedua orang tua mereka.

Akhirnya, tamat sudah.

By. Saimo Am-Mattobi'i

Senin, 26 November 2018

Parman Sang Algojo

Malam ini sedikit dingin menusuk badanku yang meski sudah aku balut dengat jaket kulit warna cokelatku, tak memberi hangat pada kulitku. Secangkir kopi pahit yang disediakan oleh mbok Tewel membantu aku dan teman-temanku untuk tetap terjaga paling tidak sampai subuh nanti. Kami adalah para kelompok yang malam ini mendapat giliran untuk menjadi penerima tawanan PKI yang namanya sudah tertera di dalam daftar nama yang membawa kami menjadi seorang pembunuh malam ini. Aku dan teman-temanku sebenarnya sedikit takut dan khawatir ketika harus melakukan ini. Rasa cemas dan was-was saat menunggu mereka, menggerayangi sekujur tubuh kami. Tapi aku dan teman-temanku sudah sepakat untuk membalaskan dendam kiyai dan teman-teman kami yang sudah dibantai lebih dulu oleh mereka.

"Man, kowe yakin sanggup mateni wong-wong PKI iki engko? (Man, kamu yakin sanggup membunuh orang-orang PKI ini nanti?)" Tanya Tejo, sepupuku yang kebetulan satu kelompok denganku.

"Kowe ngomong opo Jo, yo yakin lah. Aku wes gremeten karo wong PKI seng wes mateni konco-koncone awake dewe. (Kamu ngomong apa Jo, ya yakin lah. Aku sudah gregetan sama orang PKI yang sudah membunuh teman-teman kita)" jawabku kesal.

"Yo bukane ngunu, aku cuma wedi awakmu engko trauma mari mateni wong-wong iki ngko. Seng paling parah, awakmu engko bakal dipegeli nyang keluargane wong-wong iki. Wong-wong iki kan yo termasuk warga desone awak e dewe. (Ya bukannya begitu, aku cuma takut kamu nanti trauma setelah membunuh orang-orang ini nanti. Yang paling parah, kamu nanti bakal dibenci sama keluarganya orang-orang ini. Orang-orang kni kan termasuk warga desa kita)"

"Luwih pilih ngendi, wong PKI iku urip tapi engko awak e seng di pateni utowo awak e dewe tetep urip lek wong PKI iku modar? (Lebih pilih mana, orang PKI itu hidup tapi nanti kita yang dibunuh atau kita tetap hidup ketika orang PKI itu mampus?)"

"Yo luwih pilih wong PKI iku mati Man (ya lebih pilih orang PKI itu mati Man)"

"Lha iyo, yo uwes ojo nyangkem ae! (Lha iya, yaudah jangan ngomong aja!)" Jawabku sedikit kesal pada Tejo yang terus menggangguku saat aku mencoba menghilangkan rasa takutku.

Suasana di pinggir sungai itu sungguh hening, bahkan suara burung hantu dan jangkrik pun tak terdengar berisik di telingaku. Begitu senyap malam itu, membuatku semakin hanyut dalam ritual persiapan pembunuhan yang telah direncanakan itu.

"Man, kelompok penjemput wes teko. Ayo siap-siap. (Man, kelompok penjemput sudah datang. Ayo siap-siap)" kata temanku yang juga mempunya perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan saat ini. Takut bercampur khawatir.

"Wes kabeh iki? (Sudah semua ini?)" Tanyaku pada salah satu kelompok penjemput.

"Uwes. Neng daftar jenenge yo mek wong pitu iki. (Sudah. Di daftar namanya ya cuma tujuh orang ini)" jawab salah satu kelompok penjemput itu.

"Yo uwes, ayo (Ya sudah, ayo)" ajakku pada teman-temanku yang sudah memegangi tangan para "calon mayat" itu.

Tak ada suara teriakan yang sampai pada telinga kami dari para calon korban keberingasan kami malam ini, karena penutup mulut dan kepala sudah terpasang semenjak mereka di bawa ke sini. Pinggir sungai Berantas ini.

Satu demi satu kami para "calon mayat" itu kami pukuli dengan kayu rotan dan juga bambu kuning agar bisa menghilangkan kesaktian kekebalan mereka kata kiyai kami. Setelah mereka jatuh tersungkur akibat rasa sakit yang bertubi-tubi mereka rasakan dan belas kasihan yang tak pernah kami berikan kepada mereka, akhirnya kami sekali lagi menggunakan bambu kuning yang sudah kami tajamkan untuk menusuk-nusuk perut mereka serta kemaluan mereka. Saat itu, kami merasa seperti menjadi malaikat penyiksa yang tak memiliki rasa kasihan sedikitpun. Rasa takut dan khawatir kami pun tiba-tiba hilang ketika terbayang-bayang oleh teman-teman kami yang dibantai oleh mereka persis seperti apa yang kami lakukan pada mereka saat ini.

Darah telah membasahi pakaian kami, namun nyawa masih menempel pada tubuh mereka. Untuk itu, sudah waktunya kami untuk melakukan upacara terakhir. Memenggal kepala mereka. Setiap tubuh yang sudah kami pisahkan dengan kepala mereka, kami lempar ke sungai untuk menjadi tontonan orang tua dan anak-anak di pagi harinya.

Setelah semua pekerjaan sudah terselesaikan, kini waktunya kami membersihkan tubuh kami dari darah-darah yang menempel. Kami bergegas menceburkan tubuh kami ke dalam aliran sungai, agar arwah mereka tak mengikuti kami ke rumah.

Di perjalanan, kami terdiam dan ada sedikit penyesalan yang muncul begitu saja. Mungkin teman-temanku juga sepertiku, membayangkan jika kami bahkan salah satu keluarga kami juga diperlakukan oleh orang seperti apa yang kami lakukan. Tapi aku tak khawatir bahwa para PKI itu akan membalas dendam, karena sisa-sisa PKI telah kami lenyapkan pada malam ini juga.

"Man, Parmin melu kelompok opo bengi iki? (Man, adikmu ikut kelompok apa malam ini?)" Tanya salah satu temanku yang sedikit menghilangkan hening yang menemani derap langkah kami.

"Ora melu, adiku oleh lemburan neng pabrik kawet wingi. (Tidak ikut, adikku dapat lemburan di pabrik dari kemarin)" kataku.

"Padahal wong e wes sugih yo, kenopo sek tetep kerjo nek pabrik ae. Bukane kebun sayur e yo wes oleh bathi okeh. Lek aku yo mending fokus nyang kebun e ae ketimbang kerjo neng pabrik seng sangune ora sepiro. (Padahal orang kaya ya, kenapa tetap kerja di pabrik aja. Bukannya kebun sayurnya sudah dapat untung banyak. Kalau aku ya mending fokus ke kebunnya aja ketimbang kerja di pabrik yang gajinya tidak seberapa)" sahut salah satu temanku yang lain mencoba menyamakan suara untuk memecah sunyi kami.

"Yo jenenge ae nggolek rejeki ora perlu pilih-pilih. Lek pancene kerjone iso ngasilne duet opo salah e to? ( Ya namanya aja nyari rezeki tidak perlu pilih-pilih. Kalau memang kerjanya bisa menghasilkan uang apa salahnya?)" Jawabku yang seperti orang bijak.

"Lha kowe Man, kerjo opo? Ojo ngomong, cuma njalok nyang adimu hahahaha.. ( lha kamu Man, kerja apa? Jangan bilang, cuma minta ke adikmu hahahaha..)" canda temanku yang pertama kali bertanya padaku.

"Yo ora lah Nyo Nyo, Sinyo iki lak mesti gawe goro-goro karo aku. Pengen tak dadekne koyo wong-wong maeng to? Hahaha (ya tidak lah Nyo Nyo, Sinyo ini mesti cari gara-gara sama aku. Pengen aku jadiin kaya orang-orang tadi? Hahaha. Canda balasanku. Entahlah, semua candaan itu membuat kami lupa tentang penyesalan dan khawatir yang membayangi kami beberapa menit yang lalu. Semoga saja ak dan teman-temanku bisa tidur nyenyak. Paling tidak pagi ini.

                                          ~

Sudah tiga hari, Parmin tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin, adikku masih mendapatkan lembur karena ini adalah minggu pertama pabrik gula tempat adikku bekerja sedang mengolah panenan tebu dari para petani tebu dekat pabrik. Aku pikir, dia pasti akan dapat upah lembur yang banyak yang mungkin bisa aku pinjam untuk modal usahaku. Dia sangat mudah dipinjami uang, tapi kalau sudah jatuh tempo dan tak segera melunasinya. Dia akan sangat marah dan mengataiku dengan kata-kata yang sangat kasar. Aku tahu dia seperti itu karena ingin mengajarkanku sebuah tanggung jawab, dan aku memaklumi itu. Parmin adalah adikku satu-satunya yang sangat aku sayangi dan aku banggakan karena dia adalah pekerja keras yang bertanggung jawab pada keluargannya.

                                         ~

Jam sebelas siang, Tejo datang ke rumah, dengan baju batik namun tak begitu rapi untuk orang yang ingin pergi untuk mengahadiri acara pernikahan atau sunatan.

Kini dia menghadapku dengan wajah pucat pasi dan bibir yang bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu padaku.

                                           ~

"Pangapurone yo Man, utang seng nggarai aku ngelakoni iki. Parmin saben bengi nemoni aku neng ngipiku. Aku pancen ora pantes urip Man. (Maaf ya Man, hutang yang membuat aku melakukan ini. Parmin setiap malam menemui aku dalam mimpiku. Aku memang tidak oantas hidup Man)

"Asu kowe Jo, kok tego kowe karo dulurmu dewe! Cuma goro-goro utang, jenenge adiku kok tulis neng daftar iku. Kowe seng garai aku dadi pembunuh e adiku dewe. Dino iki aku yo bakal dadi pembunuhe dulurku dewe! (Anjng kamu Jo, kok tega kamu dengan daudramu sendiri! Cuma gara-gara hutang, nama adikku kamu tulis di daftar itu. Kamu yang membuat aku menjadi pembunuh adikku sendiri. Hari ini aku juga bakal jadi pembunuh saudaraku sendiri!)"

By. Saimo Am-Mattobi'i

Minggu, 25 November 2018

Hati Yang Tak Bersamaku


Sudah sekitar beberapa menit aku berada di sampingmu untuk mencuri pandangku pada wajahmu yang sedari aku melihatmu saat aku masuk toko buku yang terkenal menyediakan semua jenis buku yang aku inginkan. Kamu terlihat serius membaca buku yang mungkin ingin kamu beli, atau mungkin kamu hanya ingin membacanya saja. Dari penampilanmu dan jenis buku yang kamu baca, aku mencoba menerka tentang siapa dirimu; seorang mahasiswi jurusan sastra atau semacamnya. Kamu juga tak terlihat memakai baju yang mewah dan bahkan pakaianmu terlihat sederhana dengan kacamata lebar yang menghiasi wajahmu. Mungkin kamu seorang yang bisa dikatakan cupu atau juga semacamnya, namun kamu begitu manis saat tersenyum membaca tulisan di dalam buku itu. Aku pikir itu semacam buku novel komedi atau percintaan yang lucu. Entahlah, tapi yang jelas aku merasa tenang saat melihatmu.

"Kenapa mas memandangku? Apa aku terlihat aneh karena menghabiskan waktuku berlama-lama membaca buku ini?"

Jujur, itu sangat membuatku kaget setengah mati dan bahkan setelah aku membuang mukaku darimu pun tak menghilangkan rasa maluku padamu.

"Maaf, bukan maksudku kurang ajar sama mbak. Aku cuma..." Kataku gugup.

"Cuma apa? Cuma terpesona dengan wajahku?" Sahutmu tanpa ragu sampai aku tak bisa berkata apa-apa.

"Maaf" hanya itu yang bisa terucap dari bibirku.

"Tak perlu minta maaf. Memang sudah naluri laki-laki melihat seorang yang cantik sampai seperti itu" katamu dengan senyum yang benar-benar manis. Bahkan lebih manis ketimbang senyummu beberapa menit yang lalu.

Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi setelah melihat senyumnya. Tapi aku benar-benar ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Juga melihat senyummu.

"Apa kamu senang membaca novel?" Tanyaku dengan sedikit keberanian diri yang kupaksakan.

"Emmm, entahlah. Aku senang membaca buku, bukan hanya novel. Aku lebih senang membaca buku yang bersifat non-fiksi seperti sejarah, kebudayaan atau mungkin motivasi hidup. Namun, terkadang aku juga membaca novel atau cerpen untuk memperkaya imajinasiku saat menulis."

"Apa kamu seorang penulis?" Tanyaku spontan.

"Yaaa, gak tahu. Hanya saja, aku senang menulis dengan isi cerita yang sering aku alami. Namun tak semuanya aku tulis, hanya sebagian kecil dengan karakter yang berbeda." Jawabmu dengan sedikit antusias yang terlihat jelas di wajahmu.

"Wah, apa tulisan kamu sudah kamu bukukan. Seperti novel, mungkin?"

"Belum, tapi aku berharap ada orang yang mau membaca tulisanku suatu hari nanti ketika..."

"Aku mau jadi orang itu. Ya, mungkin lebih tepatnya jadi orang pertama yang membaca tulisanmu."

"Hehehe, kamu aneh." Katamu dengan ketawa yang begitu anggun

"Aneh kenapa, apa aku tak pantas?" Tanyaku dengan sedikit kecewa.

"Bukan, bukan seperti itu. Tapi kamu baru saja kenal denganku dan sekarang menawarkan diri untuk menjadi orang pertama yang ingin membaca tulisanku."

"Baiklah, aku harap besok dan seterusnya kita akan bertemu lagi di sini atau mungkin di tempat lain agar aku tak lagi sebagai orang yang baru untukmu ketika kita sering bertemu. Gimana?" Tawarku padamu.

"Eemm, boleh. Tapi aku tak ingin kita bertukar nomor atau saling tahu di mana kita tinggal ya?"

"Kenapa seperti itu?" Tanyaku penasaran.

"Karena itu yang bisa meyakinkanku bahwa kamu memang orang yang pantas untuk menjadi yang pertama membaca tulisanku." Jawabmu yang aku anggap memang masuk akal.

"Baiklah, kita pasti akan bertemu dan mungkin akan sering bertemu." Kataku padamu dengan kepercayaan diriku yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya.

"Okey, aku sering datang ke sini. Tapi tak setiap hari aku berkunjung ke tempat ini. Kalau kamu beruntung, kamu pasti menemukanku."

"Aku pasti menemukanmu" kataku dengan yakin.

"Amel, udah? Ayo pulang. Udah sore ini" kata seorang wanita paruh baya dengan menenteng keresek isi belanjaannya saat menghampiri wanita yang sedang aku ajak bicara.

"Iya ma, bentar" sahutmu pada mamamu

"Aku pulang dulu ya. Terima kasih udah ajak aku ngobrol. Sampai jumpa." katamu saat ingin meninggalkanku dengan seribu tanya yang masih belum terucap dari bibirku untukmu.

Kalimat perpisahan itu belum sama sekali membuatku puas dengan obrolan kita waktu itu. Jadi kuputuskan saat itu juga, aku akan terus menemukanmu sampai aku puas dengan perjumpaan kita.

Empat hari setelah pertemuan kita, hari ini aku bertemu denganmu di tempat yang sama yang sebelumnya aku setiap hari datang ke sini. Namun aku tak menemukanmu.

"Akhirnya kamu datang"

"Kenapa wajah kamu seperti itu?" Tanyamu.

"Memang wajahku kenapa?" Sahutku dengan tanganku meraba-raba wajahku.

"Hehehe, enggak. Bukan wajah kamu berubah, cuma ekspresi wajah kamu seperti wajah bahagia karena bertemu dengan orang yang kamu rindu.

Iya, aku memang merindukanmu. Bahkan aku terus memikirkanmu saat aku tak bisa menemukanmu, Amel.

"Ya bukan gitu. Karena kita kan udah janjian kalau kita akan bertemu di sini. Bahkan aku setiap hari datang ke sini tapi baru hari ini aku bertemu denganmu lagi. Aku kira kamu lupa, ternyata kamu datang. Aku sedikit lega" kataku mencoba untuk membuat sebuah pembelaan.

"Hahaha iya iyaaa, aku tak akan mengingkari janjiku ataupun menipumu kok. Tapi aku kan sudah bilang, kalau aku tak setiap hari datang ke sini."

Aku tak lupa, aku hanya mencoba untuk sesering mungkin bertemu denganmu meskipun aku harus mencuri waktuku setiap hari datang ke sini untuk bertemu denganmu. bahkan meskipun aku harus rela waktuku itu terbuang percuma karena tak menemukanmu.

"Oh iya aku lupa, kita kan belum berkenalan. Kenalin namaku Amel. Kamu?"

Aku benar-benar lupa kalau aku belum memperkenalkan namaku padamu. Mungkin karena aku sudah mendapatkan nama kamu dari ibu kamu yang saat itu memanggilmu dengan nama itu dan juga aku terlalu terpesona denganmu sampai-sampai aku lupa kalau aku juga punya nama yang harus kamu ingat.

"Namaku Sandy."

"Sandy? Kaya nama cewek ya hehehe"

"Cewek? Ya enggak lah. Kalau cewek itu namanya mungkin Sendy atau Sindy." Kataku menggerutu.

"Hahaha iyaa, bercanda. Yaudah kamu mau temani aku berkeliling mencari alat tulis di lantai bawah?"

"Boleh, tapi buat apa kamu beli alat tulis?"

"Udah ikut aja"

Aku tak mempercayai ini. Saat ini, aku sedang berada di samping wanita yang mencuri perhatian mataku. Aku juga tak tahu, kenapa aku sampai terbuai dengan diorama ini. Berdua denganmu.

Di toko peralatan tulis, aku sekali lagi melihat wajah yang empat hari kemarin membuatku terpesona. Mungkin lebih tepatnya jatuh hati. Kamu tersenyum saat menemukan sebuah pena dengan ornamen yang lucu. Menurutmu.

"Aku mau beli yang ini, aku suka"

Sungguh, Amel. Pada saat kamu menunjukkan wajah bahagia dan senyummu yang berkali-kali lipat lebih manis itu, jantungku seperti ingin keluar dari tubuhku. Rasanya sangat sakit, tapi aku bahagia. Aku benar-benar mencintaimu saat itu.

"Kapan-kapan lagi temani aku lagi ya" katamu sore itu saat ibumu sudah memberi aba-aba pada kita untuk segera berpisah.

"Iya, aku akan selalu temani kamu sampai kamu bosan aku temani"

"Hehehe gombal. Tapi... Terima kasih ya. Aku belum pernah bertemu laki-laki aneh seperti kamu dalam hidupku. Aku sangat bersyukur. Aku ingin hidup seribu tahun lagi agar bisa terus bertemu denganmu, Sandy."

Aku juga, bahkan aku lebih bersyukur karena Tuhan mempertemukan aku dengan wanita sepertimu, Amel. Aku akan hidup seribu tahun juga untuk mengabulkan keinginanmu.

Sebenarnya, aku ingin mengungkapkan rasaku padamu waktu itu. Aku tak hanya senang, tapi aku juga mencintaimu. Namun, aku tak berani untuk mengungkapkannya. Karena aku pikir, ini pertemuan yang singkat untuk menyimpulkan bahwa rasa ini memang benar-benar apa yang disebut dengan jatuh cinta.

Sayangnya, aku terus memikirkan ini bahkan saat wajahmu telah lenyap dari jangkauan mataku. Kini, rasa yang ada dalam hatiku seperti ingin meluap saat aku jauh darimu. Aku tak bisa menahan ini, aku telah memutuskan untuk menyatakan rasaku saat aku bertemu denganmu nanti.

Satu minggu setelah perjumpaan terakhir kita.

"Tante? Tante mamanya Amel kan? Sudah seminggu ini Amel gak datang ke sini. Apakah Amel sedang sakit?

"Kamu Sandy yang sering ketemu Amel di sini kan?"

"Iya, te"

"Amel sering bicarain kamu ke tante. Dia belum pernah sebahagia itu seumur hidupnya. Kamu beri Amel senyum yang tante rindu sejak dulu. Senyum yang selalu terlukis di wajahnya sebelum kanker telah merenggutnya dari Amel."

"Kanker? Maksud tante?"

"Dia sudah meninggal. Dua hari setelah bertemu denganmu. Sebelum meninggal, Amel ingin memberi surat ini pada kamu"

Aku membaca isi surat darimu, tak kutemukan rasa bahagia saat membaca tulisan darimu. Hanya sesal yang tak dapat kulupakan saat membaca surat itu. Kamu tak pernah tahu rasaku padamu.

"........
.......
Sebenarnya aku jatuh cinta sama kamu San, namun aku takut kamu hanya akan mengasihaniku karena penyakitku. Lebih baik aku menyatakannya padamu saat aku tak perlu lagi rasa kasihan dari orang lain. Bahkan dari kamu; laki-laki yang aku cintai. Aku sangat mencintaimu. Aku berharap bisa hidup seribu tahun lagi bersamamu. Namun Tuhan tak memberi lagi waktu untukku.

NB: Wanita juga bisa jatuh cinta lebih cepat dari laki-laki loo. Contohnya AKU.. hehehe"


Aku tak menyadari, bahwa kamu ingin hidup seribu tahun lagi adalah pesan untukku bahwa kamu tak akan hidup untuk waktu yang lama bersamaku. Aku menyesal karena aku tak mengungkapkan rasaku padamu waktu itu, Amel. Aku sungguh menyesal.


By. Saimo Am-Mattobi'i

Senin, 19 November 2018

Sebuah Nama (Rahmah)

Namaku Rahmah, orang tuaku memberikan namaku itu dengan harapan Tuhan akan senantiasa memberikan belas kasih-Nya padaku. Ada alasan lain yang membuat ayahku menyematkan nama itu dalam dadaku. Cerita di balik nama itu tak habis-habisnya membuatku takjub dengan ayahku yang terlihat selalu bahagia ketika melihat kehadiranku.

Suatu hari, aku dan ayah duduk di sebuah taman yang selalu kita kunjungi setiap akhir pekan. Saat menjelang siang sebelum adzan berkumandang, kami akan pergi ke suatu surau kecil di mana aku selalu merasa tak asing untuk mengunjunginya bahkan saat pertama kali berkunjung ke sana.

Adzan berkumandang, yang aku lihat dari ayahku adalah kekhidmatan yang tak pernah luntur saat mendengar dengung suara yang mentakbirkan nama Tuhan. Waktu untuk menghadapkan wajah kami kepada Tuhan tiba. Aku tak dapat merapatkan badanku kepada ayah karena kami berada di sekat yang berbeda. Akhirnya, salam terakhir dari pemimpin makmumpun terucap dan sebagian orang menghajatkan semua keinginan mereka. Begitupun aku yang menginginkan agar Tuhan memberikan kehidupan yang layak untuk hidup kami berdua.

Dua menit bahkan lima menit kemudian, orang-orang yang semula bershaf-shaf kini semakin merenggang bahkan hilang sama sekali. Namun aku lihat, ayah tak kunjung bangkit dan bahkan dia terus bermunajat di atas tempat duduknya. Itu yang membuatku semakin sayang kepadanya, dan berharap akan menemukan sosok lelaki yang akan menggantikan ayahku; paling tidak menyamainya. Aku semakin penasaran tentang kisah percintaan ayahku dan almarhum bundaku yang meninggalkan kami sejak aku berumur 7 hari. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, tentang bagaimana bunda bisa jatuh hati kepada ayah.

Akhirnya setelah kurang lebih dari sepuluh menit, ayahku menyelesaikan keluh kesahnya pada Tuhan dan langsung menemuiku yang sejak tadi berada di teras surau sambil memandang ayahku dari tempat dia duduk sampai melangkahkan kakinya kepadaku.

"Maaf ya sayang, ayah terlalu lama berdoa" kata ayahku sambil tersenyum melihat wajahku yang sedikit terlihat bosan menunggu ayah.

"Gak apa-apa kok yah, Rahmah seneng liat ayah berdoa kok" kataku sambil membalas senyum hangat dari ayahku.

"Langsung pulang atau kamu pengen ngobrol sama ayah? sambil duduk-duduk di sini?" kata ayah yang tiba-tiba seperti membaca pikiranku yang sejak tadi terngiang-ngiang dalam otak.

"Emmmm, yah. Aku pengen tanya sama ayah boleh gak?" tanyaku sambil mataku tak lepas melihat ayah menurunkan badannya untuk duduk.

"Ya boleh dong sayang, kaya sama presiden aja sampai kamu tanyanya gitu." canda ayah mencoba membuyarkan rasaku yang memang sedikit agak tegang saat ingin menanyakan sesuatu hal yang sesikit sensitif untuk ayah.

"Ayah mau gak, menceritakan tentang percintaan ayah sama bunda. Dari awal ayah sama bunda bertemu sampai bunda meninggalkan kita berdua untuk selamanya?"

"Sayang, bunda gak meninggalkan kita untuk selamanya kok. Nanti juga kita bakal ketemu lagi di dalam surga, insya Allah"

"Iya maksudku gitu yah hehehe"

Ayah memandang langit dan menghela nafas panjang untuk memulai cerita tentang cinta antara ayah dan bunda.

"Kamu tahu, kenapa kamu selalu aku ajak ke taman dan surau kecil ini, sayang?"

"Pasti ada hubungannya sama bunda ya?" tanyaku mencoba menafsirkannya.

"Iya sayang. Awal mulanya, ayah bukan seorang laki-laki yang sangat tekun beribadah. Yah, bisa dikatakan ayah dulu ibadahnya bolong-bolong bahkan terkadang ayah suka meninggalkan sholat, yang paling parah senang berfoya-foya."

Cerita ayah sejenak terhenti untuk sekedar melihat ekspresi di wajahku saat mendengar kisah kelam masa lalu ayah. Yah memang agak kecewa ketika mendengar itu tapi akupun tak bisa menolak cerita yang sudah terlanjur terangkai.

"Ya, meskipun masa lalu ayah seperti itu. Ayah masih ingat siapa Tuhan yang harus ayah yakini." kata ayah mencoba mengambil hatiku yang sedikit kecewa tadi.

"Suatu hari, ayah pergi ke taman yang kita selalu pergi ke sana dalam keadaan kalut ketika ayah memiliki masalah kehidupan yang berat. Ayah sempat menangis dan meratap di atas kursi taman. Saat ayah menundukkan kepala ayah agar tangisan ayah tak dapat dilihat oleh orang banyak, ayah mendengar suara wanita yang sejak tadi duduk di samping ayah dan melantunkan ayat suci Al-Quran. Dia adalah bunda yang sedang menghafalkan surat Ar-Rahman. Bunda kamu mempunyai suara yang indah yang membuat hati ayah semakin meluruh dan menjadi sedikit tenang. Ayah mendengar setiap ayat yang bunda kamu baca dengan sepenuh hati sambil mencoba mencari sebuah alasan kenapa hidup ayah selalu penuh dengan cobaan. Sebenarnya ayahpun tak pernah menduga bahwa wanita itu suatu hari bakal menjadi istri ayah dan bunda kamu karena ayahpun tak pernah berpikir wanita seperti bunda menyukai ayah yang tak pernah basah bibirnya untuk melantunkan ayat Al-Quran."

Ayah berhenti sejenak untuk kesekian kalinya dan sedikit tersenyum ketika mengingat-ingat kisah lama yang mungkin selalu ayah simpan untuk nanti diceritakan kepada bunda di surga tentang betapa bahagianya ayah mendapatkan wanita seperti bunda yang akupun tak pernah tahu mengenai dia.

"Bunda waktu itu tiba-tiba mengehentikan hafalannya sejenak untuk sekedar menyapa ayah yang sejak tadi memandang bunda dan mendengarkan suara bunda. Bunda memberi senyum yang indah yang belum pernah ayah lihat sebelumnya dan tak ada yang bisa menandingi senyum indah bunda selain senyum kamu, sayang."

Ayah benar-benar seorang laki-laki yang romantis. Bahkan akupun tersipu mendengar kata-kata ayah. Akupun mungkin tak kaget kalau bubda bisa jatuh hati pada ayah. Tapi kata-kata romantis ayah bukanlah alasan kenapa bunda bisa jauh hati pada ayah. Justru kesungguhan ayahlah yang membuat bunda jatuh hati.

"Ayah gak tahu ketika bunda kamu pergi dari tempat duduknya, ayah kembali lagi seperti keadaan ayah sebelumnya. Rasanya rasa kalut yang tadi menghilang tiba-tiba menusuk-nusuk hati dan otak ayah. Ketika itu hari menjelang siang, akhirnya ayah memutuskan untuk mencari tempat ibadah yang dekat dengan taman itu. Sampailah ayah di surau kecil tempat kita duduk ini, ayah bertemu lagi dengan bunda yang memang setiap hari bunda kamu selalu datang ke sini saat menjelang siang."

"Ciye ayah pasti stalking bunda ya dulu sampai-sampai ayah tahu kalau bundang sering ke sini? Hehehe" candaku ke ayah.

"Ya bukan, sayang. Ayah tahu karena ketika itu ayah memang kos di depan sini, dekat surau ini. Tapi memang ayah sangat jarang ke sini sebelum ayah ketemu dengan bunda. Dan bukan karena alasan ingin bertemu dengan bunda, ayah datang ke sini. Itu karena kebiasaan ayah yang ketika mengalami masalah selalu pergi ke tempat yang mungkin bisa membuat hati ayah semakin tenang. Dan kebetulan hanya surau ini yang dekat dengan tempat tinggal ayah." kata ayah mencoba menepis candaanku.

"Setelah hari itu, ayah semakin sering bertemu dengan bunda kamu dan terkadang ayah harus mencuri dengar ketika bunda kamu melantunkan ayat Al-Quran setelah selesai bermunajat. Ya memang sih, ayah kelihatannya sedikit penasaran dengan bunda kamu tapi ayah tak pernah berani mengajak berbicara bunda. Tapi suatu ketika, saat ayah mencoba membaca Al-Quran karena ayah berpikir kalau hanya mendengar saja belum cukup untuk menenangkan hati ayah. Dengan sedikit terbata-bata ayah membaca setiap ayat dalam Al-Quran itu dan kebetulan ayah membaca surat Ar-Rahman yang tak sengaja ayah buka karena ayah membuka mushafnya secara acak. Saat di ayat yang ayah lupa ayat apa itu, tiba-tiba ada suara yang membetulkan bacaan ayah. Dia bunda, yang sejak tadi ternyata mendengar ayah membaca. Akhirnya ayah tak melanjutkan membacanya dan diam karena malu."

"Tiba-tiba bunda bilang, 'kok berhenti mas, lanjutin'. Ayah jawab malu kepada bunda dan ayah menutup mushafnya. Melihat ayah menutup mushaf itu, bunda kamu berkata, 'yaudah aku gak akan dengerin dan benerin atau mungkin aku pergi aja biar mas gak malu ya hehehe'. Tapi ayah langsung  mengatakan pada bunda untuk tetap di situ dan mengatakan kalau ayah akan membacanya lagi bahkan ayah minta agar bunda mengoreksi bacaan yang salah. Akhirnya, bundapun mau dan mendengarkan lantunan bacaanku di dekatnya. Setelah selesai membaca surat itu, ayah mengucapkan terima kasih pada bunda dan meminta bunda agar senantiasa menemani ayah ketika ayah membaca mushaf di surau ini. Ayah juga gak tahu kenapa semuanya terlihat mudah, bunda kamu mau karena menurut bunda kamu orang yang ingin belajar Al-Quran wajib dibantu."

"Bunda wanita yang baik ya yah, sayang Rahmah belum pernah ketemu sama bunda ketika Rahmah udah besar" kataku sedikit merasa kecewa.

"Enggak, sayang. Sebenarnya bunda kamu masih ada dan hidup dalam hati kamu bahkan wajah bunda kamu tergambar di atas wajah kamu. Ketika ayah memandangmu, ayah merasa bahwa yang ayah pandang adalah bunda."

"Ya mungkin wajah Rahmah mirip sama bunda, tapi kebaikan bunda gak sama dengan apa yang Rahmah lakuin"

"Memang tingkah laku kalian berbeda tapi ayah harap kamu bisa lebih daripada bunda. Agar laki-laki yang datang menemuimu kelak merasa beruntung seperti apa yang ayah rasakan. Ayah ingin kamu jadi sebuah mutiara yang sangat berharga sehingga kamu bisa menjatuhkan hati kamu kepada laki-laki yang pantas memilikinya"

"Iya yah. Lanjutkan dong yah"

"Nah, akhirnya karena seringnya kita bertemu di surau ini. Tumbuh rasa yang sama di antara hati ayah dan bunda kamu. Namun saat itu, bunda kamu telah dijodohkan dengan laki-laki lain meskipun laki-laki itu belum menanyakannya pada bunda. kakek sama nenek sebenarnya tak menentang hubungan kami tapi karena saat itu janji telah disepakati dari pihak orang tua bunda, mereka hanya menunggu kepastian dari bunda. Akhirnya ketika laki-laki itu menayakannya langsung pada bunda, bunda kamu menolak tapi bukan karena ayah alasannya yang bunda kamu katakan karena mungkin ingin menjaga perasaan laki-laki itu.  Selain itu juga, bunda kamu belum siap untuk menikah. Akhirnya ayah menunggu bunda selama dua tahun dan selama masa menunggu itu, bunda meminta ayah untuk menghafalkan surat yang pertama kali ayah dengarkan ketika pertama kali bertemu dan juga bermunajat di dalam surau selama yang ayah bisa sembari memohon agar bunda menjadi istri ayah. Memang, ayah bisa menyelesaikan hafalan itu sampai satu setengah tahun karena kesibukan ayah pada pekerjaan ayah tapi ayah tak lupa untuk berlama-lama bermunajat karena memang ayah membutuhkan bantuan dari Tuhan saat itu. Setelah hitungan dua tahun berakhir, ayah melamarnya bersama dengan kedua orang tua ayah dengan membawa hafalan surat Ar-Rahman di depan kakek sama nenek kamu. Setelah itu, ayah mengucapkan ijab qabul ayah dengan kakek. Akhirnya kamipun menjadi suami istri. Yah meskipun cuma sebentar bersama dengan bunda karena bunda ternyata mengidap kanker otak stadium 4 yang memang selama dua tahun itu bunda pergunakan untuk mencoba mengobati penyakitnya tapi tak pernah berhasil. Untunglah sebelum bunda kamu pergi meninggalkan ayah, bunda menitipkan perasaan bunda pada ayah dengan menghadirkan kamu, sayang. Nama Rahmah itu diberikan langsung oleh bunda sebagai hadiah karena ayah bisa menghafalkan surat itu dan juga sebagai pengingat ayah bahwa surat itu yang membawaku kepada bunda. Selain itu, nama itu berarti belas kasih yang diberikan Tuhan kepada ayah yang selalu mencoba bersabar dalam menghadapi permasalahan ayah termasuk kesedihan ayah saat kehilangan bunda. Dan semenjak ayah kenal dengan bunda, ayah tak pernah meninggalkan kewajiban ayah untuk beribadah serta apa yang ayah lakukan sekarang itu semata-mata karena kehadiran bunda di dalam kehidupan ayah. Dan setiap melihat kamu, seakan-akan bunda selalu mengawasi ayah agar tak lupa untuk menjalankan kewajiban ayah untuk menjaga diri ayah dan kamu sehingga nanti kita bisa berkumpul kembali di dalam surga."

Sungguh saat mendengar cerita dari ayah, aku ingin sekali menjadi wanita yang sangat baik seperti bunda. Melihat perjuangan ayah sampai sini, aku tak mungkin untuk mengecewakan mereka berdua. Aku berharap bisa mengukir cerita yang indah dengan lelaki yang membawa kabar gembira padaku.

Rahmah bukan hanya seuntai nama yabg tak berarti, tapi juga sebuah judul dari sebuah cerita. Nama yang indah dan juga perasaan dari dua insan yang terlukis di dalamnya.

By. Saimo Am-Mattobi'i

Kamis, 30 Agustus 2018

Warda


Entahlah, semenjak kematianku yang amat tragis itu aku sedikit merasa ada yang mengusik pikiranku. Sepertinya masih ada sesuatu yang aku tinggalkan sebelum kepergianku dari dunia. Memang, aku sudah merencanakan kepergianku ini dengan matang. Tak seorangpun tahu apa yang menjadi alasanku untuk melekukan semua ini, yang jelas aku sudah terbebas dari semua penat yang aku rasakan di dunia. Sayangnya, ibuku tak mengetahui bahwa aku akan meninggalkan dia secepat ini. Mungkin itu yang menjadi alasan yang mengusikku. Untungnya, aku sudah memberitahu dia bahwa aku akan merelakan kehidupanku untuk sebuah kemuliaan.

Sebentar lagi sore, teman-temanku tak kunjung datang untuk menguburkanku. Padahal, mereka berjanji akan selalu berada di sampingku untuk menemani. Tapi akupun tak begitu peduli, toh aku sudah merasakan kebahagiaan yang amat.

"Andi? apakah engkau sudah siap?" Suara yang aku kira berasal dari bibir teman-temanku. Dia sang penjemput.

"Kenapa lama kau datang? bukankah aku sudah menunggumu sejak tadi?" kataku menggerutu

"Maafkan aku, ada hal yang perlu aku persiapkan untuk menyambut kedatanganmu. Ada seseorang yang ingin sekali bertemu denganmu"

"Siapa? apakah dia..."

"iya, tentu saja. Bukankah berita itu sudah kau dengar bahkan sebelum kau sampai di sini"

"Beritahu aku, Di mana dia sekarang?"

"Sebentar dulu, biarkan teman-temanku menguburkan tubuhmu yang sudah kaku itu"

"Biarkan saja dia, nanti juga teman-temanku datang untuk menguburkannya"

"Sayangnya, teman-temanmu tak akan datang. Mereka juga sepertimu. Mati. Untuk itu, biarkan kami menguburkannya sebelum kita pergi"

"Baiklah, Terserah kau saja"

Mereka di mataku layaknya seperti manusia, memandikan tubuhku dan juga menguburkanku. Tapi aku sebenarnya tak peduli dengan semua itu. Katanya, Tubuh yang kaku akibat perang tak akan membusuk. Tapi aku harus mengikuti aturan Tuhan meskipun aku tak tahu arti dari semua itu.

"Semuanya sudah selesai. Ayo"

"Ayo"

Aku diturunkan di sebuah taman bunga yang sangat harum baunya. Banyak suara-suara yang menenangkan hatiku saat ini. Pandanganku tak pernah terlepas pada kemegahan sang surga. Tapi ini bukan surga, melainkan dunia langit. Tempat para pahlawan singgah untuk melepaskan keletihannya.

Mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah bangunan yang terbuat dari emas dan berlian, Kumasuki bangunan itu tanpa merasa cemas ada orang yang meneriaki. Ini dunia kematian, tak ada aturan dan juga larangan. Pikirku. Di dalam, aku bertemu dengan seorang wanita yang amat cantik. Cantik bahkan belum pernah ada wanita secantik dia. Aku berpikir, dia orang yang aku cari selama ini.

"Apakah kau dia, yang diberitakan padaku semasa aku hidup?" tanyaku padanya dengan sedikit malu.

"Bukan, Aku hanyalah penjaga tempat ini. Orang yang kau cari adalah pemimpin kami, kecantikannya melebihi paras wajahku. Temui dia di tempat itu" menunjukkan aku tempat yang seharusnya aku cari.

Aku heran, wajah secantik itu bukan yang selama ini aku cari. Bahkan kalau wanita itu hidup di dunia, pasti dia akan menjadi wanita tercantik di sana. Pikirku. Nyatanya, akupun terkagum-kagum dengan wanita yang saat ini aku temui. Di bangunan yang terbuat dari zamrud. Di sana, ada seorang wanita yang duduk dengan indah. Kecantikannya bahkan berkali-kali lipat ketimbang wanita yang aku temui di tempat tadi.

"Aku bukan orang yang kau cari. Aku hanyalah penjaganya"

Aku masih terheran-heran dengan semua ini. Kecantikan wanita itu belum ada apa-apanya dengan wanita yang aku cari. Aku menjadi lebih penasaran dengan semua yang terjadi padaku saat ini. Bahkan, rasa sakit setelah kematiankupun tak dapat terasa lagi dalam kulit dan sekujur tubuhku karena ini. Aku bahagia tapi aku juga belum mengerti apa arti semua ini.

"Dia berada di sebuah istana yang sangat besar di tempat ini. Dia wanita pemalu, dia tak mau bertemu dengan siapapun selain engkau. Dia selalu memperhatikanmu dan tersenyum kepadamu ketika kau masih hidup di dunia. Tak ada yang bisa menandingi senyuman indah itu di sini. Bahkan para bidadaripun akan jatuh tersungkur ketika melihat senyumannya. Dia tak pernah sedikitpun tersentuh oleh makhluk apapun di dunia ini, bahkan oleh tangan-tangan kami. Dia hanya ingin disentuh olehmu saja."

Aku tak dapat menunggu lagi untuk segera bertemu dengannya. Wanita yang ternyata menungguku sejak lama. Hatiku bahagia, tak dapat terbendung air yang ingin keluar dari mataku akan kenikmatan dan kebahagiaan yang Tuhan berikan padaku. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju singgasananya. Aku membuka pintu yang terbuat dari emas dan zamrud itu tanpa merasakan berat. Di sana, sudah banyak wanita-wanita yang ternyata sedari tadi menungguku. mereka mengantarkanku ke sebuah taman kecil dalam istana dengan kolam yang berisi ikan yang aku tak tahu ikan apa itu, yang jelas ikan-ikan itu terlihat indah dan tak pernah ku temui di alam dunia. Dia sedang duduk di atas dipan yang tertutup tirai berwarna hijau, terbuat dari sutra yang amat lembut.

"Warda?" kupanggil dia seperti itu, karena nama itu yang tiba-tiba muncul di dalam otakku.

Dia membalikkan badannya yang sedari tadi membelakangiku untuk memandangi langit di depannya. Tiba-tiba dia berlari kepadaku, memelukku dengan erat dengan air yang sangat deras keluar dari matanya.

"Ternyata kamu datang juga. Aku sudah menunggumu sejak lama"

Entah kenapa, kami seperti sudah kenal sejak lama, rasa rindu yang sangat amat tiba-tiba menusuk hatiku. Rasa haru tak henti-hentinya mengkhidmatkan pelukan kami berdua. Sangat lama dia memelukku, seakan tak mau untuk melepaskan ikatannya yang kuat pada tubuhku.

Air mata yang jatuh dari matanya, berubah menjadi mutiara yang sangat cantik. Tapi tak berharga lagi keindahan mutiara-mutiara itu di dunia ini, semua terlihat biasa di mataku. Saat ini. Di sini, tak ada lagi uang, tak ada lagi kekayaan. Yang ada hanyalah kenikmatan.

"Aku selalu menunggumu, mengawasi setiap gerak langkahmu. Terkadang aku cemburu denganmu, Kamu mencintai wanita lain di dunia itu. Kamu tak tahu kesungguhan hatiku mencintaimu. Aku tak akan mungkin menyakiti hatimu seperti wanita-wanita itu lakukan padamu. Aku yang selalu membisikkan cinta padamu saat kamu merasa hancur. Aku lebih rela melihatmu sakit hati karena aku yang akan terus mengobatimu. Hanya ada aku yang akan terus setia menunggumu. Aku akan menangis jika kamu berpaling dariku, yaitu ketika kamu mencoba untuk mengacuhkan Tuhan dan juga mengabaikan keinginan-Nya. Untunglah kamu bisa sampai sini. Aku bahagia" Katamu dengan air mata yang terus keluar deras di atas pipimu.

Aku juga bahagia, karena Tuhan memberikan kesempatan terkahir padaku untuk menjadi bagian dari dirimu. Maafkan aku atas kelalaianku pada cintamu, tentu saja berasal dari cinta Tuhan. Jalanku sedikit berbelok, tapi aku berhasil. aku senang. Kini aku telah melupakan dunia, dunia yang penuh dengan kepalsuan. Surga tak akan ada habisnya untuk terus diagungkan. Itu semua adalah nikmat dari Tuhan yang Maha Penyayang. Cinta kita akan kekal; Cinta yang tak akan pernah habis. Warda, Bidadariku.


~Terinspirasi dari Kisah Ainul Mardiah (Istri Para Mujahid Di Surga)~

Minggu, 14 Januari 2018

Rondo Kuning (Janda Kuning)

Theme: Horror, Non-fiksi, Myth, Urban Legend

Overture:

Sebuah cerita mengisahkan tentang penculikan anak yang terjadi di sebuah desa Wonogondo. Penculik bukanlah seorang manusia melainkan makhluk halus yang bernama Rondo Kuning (Janda Kuning) atau masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Wewe Gombel. Rondo Kuning biasanya menjelma sebagai seorang wanita cantik atau orang-orang yang dikenali ketika dia ingin menculik anak tersebut. Kisah ini terjadi sekitar tahun 1995. Sekitar 5 anak dilaporkan hilang secara misterius di kampung kami. Banyak orang yang mengatakan bahwa penculikan itu dilakukan oleh Rondo Kuning. Semua anak yang ditemukan mengalami hal yang serupa, yaitu mereka berada di bawah pohon dalam keadaan tertidur. Anak-anak tersebut juga tidak bisa berbicara dengan orang-orang di sekitarnya, dan seperti hilang ingatan dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu. Setelah mereka bisa berbicara, mereka menceritakan pengalamannya saat dia di culik. Cerita mereka sama, yaitu mereka diajak oleh seorang wanita atau orang yang dikenali oleh anak itu. Mereka tak bisa mengingat setiap detil kejadian yang dialaminya ketika berada di alam lain, yang mereka ingat hanya berada di dalam sebuah istana yang megah dengan banyak penjaga yang mengawasi mereka setiap saat. Penjaga-penjaga itu akan menjauhi anak-anak itu tatkala mereka mendengar adzan berkumandang. Ketika adzan selesai, penjaga-penjaga itu kembali mendekati mereka, begitupun seterusnya sampai anak-anak itu tersadar ketika mereka berada di rumah mereka. Mereka seperti linglung dan tak bisa berbicara, seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokan mereka, sehingga mereka tak bisa berbicara dengan orang tuanya. Kejadian tersebut membuat banyak orang tua yang melarang anaknya bermain di luar rumah ketika waktu sebelum dhuhur atau menjelang maghrib, karena itu adalah waktu dimana Rondo kuning itu menculik anak-anak kecil.

Tahun 1995, Bulan Mei

Sekitar jam 3 pagi itu, suasana kampong kami terasa tenang, hanya suara-suara jangkrik dan kodok yang bernyanyi di persawahan dekat rumah kami. Lampu-lampu di rumah dan di luar rumah tak ada yang menyala karena di desa kami masih menggunakan diesel untuk mengalirkan listrik ke setiap rumah dan jalan agar masyarakat di desa kami bisa mengakses jalan dengan mudah ketika malam hari.

Seharusnya ketika jam tersebut, aku masih terhanyut dalam kembang mimpiku. Entah kenapa, aku terbangun dan langsung bangkit dari bantal empukku. Aku duduk dan menghadap langsung pada pintu kamarku yang kebetulan aku tidur tepat di depan pintu. Di depan pintu itu, aku melihat sosok wanita yang sangat aku kenali berdiri menghadapku dengan gaun putih yang sangat cerah sekali. Dia adalah orang yang aku kira ibuku.

“Ibu mau ke pasar ya?. Aku ikut?” pintaku padanya yang saat itu aku yakin sekali dia adalah ibuku.
Aku tak mencurigainya ketika dia tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya tersenyum dan terus memandangku dengan matanya yang sayu. Aku tak merasa ada yang aneh dengannya karena aku masih berumur sekitar 3 tahun saat itu.

Dia tak menjawabku sama sekali, setelah itu dia berpaling dariku dan berjalan menuju pintu keluar rumahku seakan dia ingin aku untuk mengikutinya. Jelas saja aku mengikuti wanita itu karena aku masih sangat polos waktu itu. Aku menangis tatkala ibuku menghilang dari hadapanku. Aku terus mengejarnya seakan tak peduli bahwa saat itu hari masih sangat gelap. Aku membuka pintu rumahku dan mengikutinya, seakan kami memiliki jarak yang terus sama meskipun aku berlari sekencang-kencangnya untuk mengejar ibuku itu. Aku berlari seperti aku berjalan di tempat yang terang. Aku tak menabrak apapun ataupun tersandung, yang secara logika aku tak mungkin bisa melihat di dalam kegelapan. Sungguh aneh, tapi itu terjadi dan aku mengaaminya.

“Oee.... oeeee... oeee...”, suara tangisan bayi yang ada di rumah dimana aku berlari mengejar ibukku
Suara tangisan bayi itu seperti sirine sebagai tanda berhentinya permaian kejar-kejaranku dengan ibuku. Saat itu juga tiba-tiba mataku seperti buta dan yang aku lihat hanyalah kegelapan, aku sangat takut. Tapi secara langsung aku tersadar, bukan mataku yang salah tapi memang waktu itu memang masih sangatlah gelap. Aku benar-benar tak dapat melihat apa-apa tak seperti waktu berlarian mengejar ibuku beberapa menit yang lalu. Bersama dengan gelap yang tiba-tiba datang, sosok yang seperti ibuku tadi lenyap seperti termakan oleh pekatnya kegelapan itu.

Aku duduk dan menangis sekeras-kerasnya karena rasa takutku yang sangat pada kegelapan. Sampai datang seseorang yang sangat gelap dan langsung menggendongku. Aku pingsan.

“Bintang? Apa yang terjadi nak?” suara ayahku membangunkanku.

Di dekat ayahku, ada saudara-saudaraku yang beberapa jam lalu tidur di sampingku. Di samping kakiku berbaring ada ibuku. Ibuku yang sebenarnya. Dia tak memakai gaun putih seperti “ibuku” yang barusan aku mengejarnya.

Aku menceritakan semuanya pada mereka tentang pengalaman yang baru saja aku alami. Pagi yang cerah datang tak seperti kegelapan yang menakutkan 4 jam yang lalu. Bersama pagi itu, banyak tetangga yang datang untuk sekedar membuat pertanyaan yang sama seperti ayah dan ibuku subuh tadi. Mereka yang datang bukan tidak ada alasan, tapi mereka khawatir kalau kejadian itu menimpa anak-anak mereka yang juga teman-teman sepermainanku. Banyak yang bilang kalau aku anak yang beruntung karena tak diculik oleh Rondo Kuning.

“Kalau kamu jadi diculik oleh Rondo Kuning, kamu bakal ditaruh di sebuah pohon yang besar yang ada di hutan itu nak” kata Bu Eni, salah satu tetangga yang menjengukku menujukkan tempat pohon besar itu berada dengan jari telunjuknya. Jujur saja aku sangat ketakutan mendengar perkataan tetanggaku itu. Pohon besar? Dalam hutan? Membayangkannya saja membuat bulu kudukku berdiri semua.

Bisa dibilang itu adalah keberuntunganku karena aku tidak menjadi salah satu anak yang diculik oleh Rondo kuning. Aku percaya bahwa tangisan bayi tetanggaku menyelamatkanku dari kejadian yang mengerikan itu.

Satu bulan kemudian, anak di RT sebelah di culik oleh Rondo Kuning dan dia ditemukan di dalam lubang pohon besar di hutan yang ditunjukkan bu Eni padaku waktu itu.

By. Saimo Am-Mattobi’i


Sabtu, 13 Januari 2018

Lelaki Pengagum Langit Dan Pohon Mimpi

Aku adalah seorang anak dari sepasang kekasih yang ada di dalam diorama asmara yang tak sengaja bertemu di hutan belantara.

Sedikit kisah tentang mereka. Ayahku adalah seorang laki-laki yang dulu bertubuh kekar karena dia bekerja sebagai kuli panggul batu di puncak gunung berapi yang sedang lelap dalam tidurnya. Kini dia hanyalah seorang lelaki tua yang kurus kerontang karena penyakit yang telah menjangkitnya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Sedangkan ibuku dulu adalah kembang desa, wajahnya cantik bahkan sampai sekarang. Banyak saudagar-saudagar kaya yang ingin meminangnya, tapi semua di tolak.

Aku tak tahu apa yang menjadikan ibuku dulu begitu sombong pada lelaki yang mau meminangnya. Pikirku dia mungkin pilih-pilih  lelaki yang cocok untuknya, karena dia cantik dan dia harus punya pasangan yang tampan untuknya. Tapi yang aku lihat, ayahku bukan termasuk laki-laki yang tampan apalagi kaya raya. Orang bilang wajahku mirip ayahku, jadi aku yakin bahwa ayahku bukanlah lelaki yang tampan dan begitu menarik apalagi bisa mencuri hati seorang wanita cantik seperti ibuku. Tak tahulah, memang benar kata tuhan. Hanya takdir yang akan bisa menentukan sebuah nasib manusia.

Mereka bertemu ketika ibuku mendaki gunung untuk menghibur diri. Ibuku terpeleset dan jatuh di sebuah jurang yang tak begitu curam tapi begitu menakutkan dan menyakitkan untuk seorang wanita seperti dia. Ayahku menolong ibuku dan membawanya ke puskesmas dekat rumahku. Berbekal uang 10 ribu hasil upah mengumpulkan batu Andesit di rumah pengepul kala itu. Kalau sekarang uang itu hanya cukup untuk beli sebungkus nasi di sebuah warteg. Ayahku menunggu ibuku yang kala itu belum sadarkan diri. Bukan karena ayahku tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan wanita yang menjadi pujaan para saudagar kaya itu, tapi ayahku tidak tahu mau menghubungi siapa waktu itu dan tak mungkin dia meninggalkan wanita cantik itu sendiri dan membayar semua biaya perawatannya sendiri. Ayahku berpikir, ibuku tak mungkin menyiapkan uang untuk perawatan karena ibuku ke gunung bukan berniat untuk jatuh ke jurang dan membayar pengobatannya.

Begitulah awal mereka bertemu dan jalinan kasih yang seperti sinetron itu melibatkan kedua orang tuaku sendiri sedikit demi sedikit tumbuh subur. Akhirnya mereka menikah dan lahirlah aku. Bagiku, itu seperti cerita sepele dan tak mungkin akan bisa menumbuhkan beneih-benih cinta, apalagi ibuku sudah menolak banyak lelaki-lelaki yang telah meminangnya dan sekarang jatuh hati pada seorang lelaki yang tak begitu tampan dan juga punya banyak harta. Yah begitulah namanya takdir. Semua akan terasa mudah kalau memang berjodoh.

Itulah kenapa Aku senang sekali pergi ke atas gunung dan merebahkan badanku di atas rumput sambil melihat awan-awan yang menari-nari di atas angin. Aku sering datang di tempat ini, di atas rumput yang hijau di bawah pohon yang tegak berdiri sendiri ini. Aku selalu terlelap selapas melihat awan-awan itu. Pernah sekali, aku tertidur di bawah pohon ini sampai langit mulai gelap. Dan tak ada siapa-siapa di sana selain aku, kumpulan rumput-rumput kecil, sebatang pohon dan bulan yang di temani bintang-bintang yang bertebaran di langit gelap. Terasa nyaman melihat lukisan tuhan di langit malam itu dan begitu mengerikan buatku karena aku harus pulang saat itu juga dari hutan yang gelap. Hanya sinar dari bulan dan bintang sebagai penerangku malam itu. Aku tak akan melakukannya lagi sejak saat itu, meskipun aku juga tak melupakan keajaiban malam itu. Untuk tidak terlelap sampai malam.

Ada alasan lain kenapa aku suka memandangi langit dan terlelap di atas gunung itu. Wanita dalam mimpiku itu salah satu alasan utamaku, sebenarnya. Wanita yang selalu datang padaku ketika aku terlelap dalam tidurku. Dia sering menemaniku. Dia bercerita banyak hal padaku, tentang apa yang dia suka dan tidak dia sukai. Begitupun denganku. Dia wanita yang sangat cantik, bahkan lebih cantik ketimbang ibuku. Senyumnya yang selalu membuat hatiku tertawan dan seakan mataku membeku sehingga sulit untuk memalingkannya.

Namanya Angel. Dilihat dari wajah dan tubuhnya, dia wanita yang berumur sekitar 3 tahun lebih tua dariku, tapi aku tak mempedulikannya. Lagian dia hanyalah wanita dalam mimpi dan aku mengaguminya. Aku tak tahu dari mana asalnya dan aku tak mau mengetahuinya. Yang aku tahu, aku sangat mencintainya.

"Kamu selalu ceria ketika aku datang, apa kamu menyukaiku?" Tanya Angel secara langsung yang membuat tubuhku mati rasa seketika ketika dia muncul dari balik pohon ini.Bukan karena kehadirannya yang secara tiba-tiba, tapi kata yang dia ucap.

"Emm.. begitulah.." jawabku terbata-bata dengan senyum bercampur dengan keringat yang tiba-tiba bercucuran di keningku karena aku tak mempersiapkan jawaban untuk pertanyaannya.

"Emmm, kamu suka aku ya?" Katanya menggodaku dengan senyumannya yang selalu terlihat menawan seakan-akan menepuk-nepuk hatiku.

"Aduh jangan gitu dong, aku hanya senang kamu datang. Eh aku tadi lihat awan yang begitu bagus, seperti sepasang burung yang sedang terbang" aku mengalihkan pembicaraan agar aku tak terlarut dalam kata-katanya yang sangat sensitif itu. Bagiku.

"Oh iya? Sama kaya kita ya, sepasang kekasih yang bertemu dalam mimpi". Godaannya semakin parah dan aku tak bisa berkutik saat itu juga.

"Kekasih?" Tanyaku dengan sedikit meyakinkan bahwa aku tidah salah mendengarkan.

"Iya, kekasih. Kenapa? Kamu tak suka aku bilang seperti itu?" Tanyanya yang aku pikir dia serius dengan perkataannya.

"Bukan begitu, tapi aku... emm". Aku benar-benar mati kutu dan tak bisa berkata apa-apa padanya.

"Yaudah deh, teman. Duh ngeselin deh kamu", katanya dengan sedikit jengkel terlihat dari raut wajahnya. Setelah itu, dia memalingkan wajahnya ke atas langit.

"Eh lihat deh, awan itu kaya kepala monyet ya. Seperti kamu, lucu", tangannya menunjuk ke langit dengan senyumnya yang tak pernah berhenti di wajahnya.

"Iya". Jujur saja, aku tak melihat awan yang dia tunjukkannya padaku. Yang aku lihat hanyalah senyuman itu.

"Angel, aku benar-benar mencintaimu. Aku senang ketika kamu mengatakan bahwa kita adalah sepasang kekasih. Itu adalah kata-kata yang sangat aku inginkan keluar dari mulutmu. Tapi Angel, meskipun kita saling cinta. Kamu hanyalah ilusi dalam mimpiku yang selalu keluar dari pohon ini, aku tak mungkin memilikimu. Itu mustahil. Sungguh menyakitkan, kalau aku mencintai sebuah khayalan. Aku benci sebuah kenyataan. Aku ingin menjadi sebuah ilusi sepertimu, agar aku bisa memilikimu."

"Pohon, jangan kamu hilang. Aku yakin kamu adalah pelaku dari kehadiran sosok Angel dalam hidupku. Jika kamu mati, aku tahu Angel juga akan pergi".


By. Saimo Am-Mattobi'i

Kamis, 11 Januari 2018

Dear Angel, Mantan Kekasihku

Kau tahu, Angel? Aku selalu jujur padamu. Apalagi perihal perkataanku sore itu, saat kau mencampakkanku. "Jangan mencemaskan aku. Aku sudah berulang kali mengalami ini, dicampakkan oleh wanita yang sangat aku sayangi. Aku tak akan mati hanya karena hal seperti ini." Kataku pelan dengan senyum yang sedikit aku paksakan.

Kau bilang pasti akan ada wanita yang akan datang padaku dengan membawa perasaan yang baru. Aku tahu kau hanya ingin menghiburku, waktu itu. "Iya, aku yakin itu dan aku pastikan itu" suaraku parau karena tanpa sadar air mataku menetes.

Seaindainya saja, Angel. Kau beri waktu sedikit saja padaku untuk menunjukkan keseriusanku padamu. Tapi apalah arti usahaku itu semua, kalau memang hatimu sudah tak bersamaku. Aku juga sadar sesuatu yang datang pasti akan pergi pada waktunya nanti, begitu juga denganmu.

Kini hal yang harus aku lakukan adalah menata hatiku dengan kesibukan yang aku sengaja agar aku tak terlalu memikirkanmu, mungkin untuk waktu yang lama. Aku harap suatu saat nanti ketika kita bertemu - jika ada, semoga kita sudah selesai dengan urusan hati kita masing-masing. "Aku juga masih mencintaimu, tapi aku tak mau lagi berurusan dengan romantisme asmara lagi. Aku hanya ingin menjadi sahabatmu. Jadi, kau tak akan lagi merasa tarsakiti olehku dan merasa bosan denganku." Dalam khayalanku di tahun kedua, ketiga atau keempat setelah kita berpisah nanti.
Aku tahu, kau tak mungkin berpikir sejauh itu, Angel. Yang aku tahu darimu, kau wanita yang punya pendirian kuat. Ketika melepaskan sesuatu, kau tak kan mau berurusan dengannya lagi. Selain itu kau punya impian yang besar dan akan melakukan segalanya untuk mencapai impian itu, berbeda denganku yang hanya bisa berandai-andai tanpa melakukan apapun untuk impianku.

Meskipun sekarang kau tak mempedulikanku, aku selalu melantunkan doa disela malamku untukmu agar kau bisa mencapai cita-citamu itu yang seharusnya kau tak pantas dapatkannya. Doa itu. Tapi entahlah. Setiap kali aku mengenangmu, tak sampai hati aku mengutukmu.

Anggap saja itu adalah upahmu karena merelakan waktumu untuk bersamaku, ketika cintamu padaku masih bersemayam dalam hatimu dulu, Angel.

By. Saimi Am-Mattobi'i
Gitar Tua Dan Kakek Yang Lumpuh

Overture
Aku yakin bahwa sebuah kekuatan yang besar telah membawaku ke tempat seperti ini. Ke dunia yang kakek buyutku bilang itu adalah "Dunia Ratapan". Aku akan larut dalam kesedihan jika aku berada di sana.

Story
Malam itu sekitar pukul 11.50 tepat, aku menulis sebuah cerita pendek yang biasanya aku melakukannya tiap malam ketika aku terjaga dari tidurku. Kalau tidak, biasanya aku bermain gitar dan bernyanyi semalaman bahkan terkadang aku melakukannya hingga matahari mengintip dari balik jendela kamarku. Aku senang melakukannya, karena menulis dan bermain gitar adalah hobiku dan hal yang sangat aku cintai.

"Teng teng teng...." tepat pukul 12.00. Tapi bersamaan dengan bunyi dentang jam itu berbunyi, aku merasakan bahwa malam ini benar-benar berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Udara di sekitarku terasa sangat kencang tapi sangat hangat.

"Kak Ros, kakak matiin ya AC'nya?" Tanyaku pada kakakku yang kebetulan hanya kami berdua yang tinggal di rumah peninggalan almarhum kedua orang tua kami.

Karena tak ada tanggapan dari kakakku yang memang aku pikir tak mungkin kakakku mendengar perkataanku, aku pergi ke kamarnya. Benar saja, aku dapati dia sudah tidur pulas di atas tempat tidurnya setelah aku membuka pintu kamarnya. Tapi bukan itu masalahnya. Karena aku merasa udara di dalam rumah terasa panas atau hangat lebih tepatnya. Aku kira AC di ruang tengah yang bersampingan dengan kamarku itu mati. Tapi yang aku dapatkan adalah, AC itu tetap menyala. Hal yang membuatku curiga adalah meskipun AC menyala, tak ada sensasi dingin dari udara yang keluar dari bilik pintu AC tersebut. Aku mencoba untuk mencari remote AC untuk menaikkan volume level AC tersebut.

"Wuuuiiissshhh" suara aneh terdengar dari kamarku. Rasa penasaranku dengan suara itu membuatku lupa bahwa ada hal yang harus aku lakukan. Mencari remote AC. Setapak demi setapak aku langkahkan dengan sangat pelan. Pikirku mungkin ada seseorang masuk kamarku untuk mencuri sesuatu di sana.

Aku mulai mengintip dari balik tembok di samping pintu kamarku. Tak satupun aku menemukan sosok seorang atau mungkin hewan seperti kucing atau apalah di sana. "Sukurlah" dalam hatiku dengan menghela nafas panjang untuk menghilangkan rasa tegang yang membuat jantungku berdetak tak karuan.

Saat semua kembali normal dan aku merasa tak ada apapun, aku langkahkan kakiku menuju kamarku. Sayangnya, langkah pertama yang aku lakukan itu adalah langkah untuk sebuah perjalananku menuju dunia yang tak pernah kusangka akan terjadi padaku. Sebuah ruang aneh yang sebelumnya adalah kamarku yang aku tinggal beberapa menit lalu dan sempat masih aku lihat beberapa detik lalu telah terpampang di depan kepala mataku sendiri.

Dunia Ratapan

Tak kusangka, sebuah cerita dongeng dari kakek buyutku dulu yang aku anggap hanyalah cerita sebelum tidur yang hanya akan membuatku mimpi buruk sekarang telah menjadi sebuah kisah nyata yang melibatkan aku dalam cerita itu.

Aku membuka mataku lebar-lebar seakan tak percaya aku mengalaminya. Aku melihat seorang kakek yang duduk di atas kursi ayun tepat di sampingku berdiri. Ada sebuah almari yang tertutup rapat di dekat jendela, di sampingnya, ada sebuah gitar tua yang seperti sudah lama tak terpakai karena banyak jaring laba-laba yang menempel pada senar gitar itu. Selain itu banyak kertas-kertas berceceran di mana-mana. Aku mendekati kakek tua itu. Sekarang aku merendahkan badanku berada tepat di depannya. Aku hanya melihat mata kakek itu tak lepas dari kaca jendela yang ada di samping almari dan di depan kasur yang sudah kumuh itu. Dia terus memandang jendela itu dan menganggap seakan-akan aku tak ada di depannya. Matanya terus memandang jendela itu dan bibirnya komat-kamit seperti mengatakan sesuatu. Aku mencoba mendengarkan dengan teliti apa yang dia katakan.

"Kapan kamu datang kak?" Kata itu yang terus diucap secara berulang.

Aku mencoba memahami apa yang dia maksudkan dengan mengatakan kata-kata itu terus menerus. Semakin aku memikirkan kata-kata itu, aku semakin bingung. Yang terbesit dalam pikiranku adalah "mungkin dia sedang menunggu kakaknya yang sedang pergi untuk mencari bahan masak untuknya malam ini". Aku mencoba bertanya pada kakek tua itu, "apakah kakakmu pergi ke pasar untuk membelikanmu makanan?". Kakek tua itu hanya menggeleng dan terus mengatakan kata-kata yang sama.

"Apakah kakakmu sudah tak mau mengunjungimu lagi" tanyaku mencoba memancingnya untuk memberi jawaban. Paling tidak dia memberi respon padaku dengan menggeleng atau mengangguk, jadi aku bisa tahu. Dan jawabannya adalah "tidak".
"Apa dia sudah meninggal?". Tanyaku sedikit pelan agar tak membuatnya sedih.

Benar saja, dia tidak hanya bersedih tapi seperti terlihat marah padaku ketika dia melototiku dan mengerutkan dahinya.

"Iya, aku yang membuat dia mati!" Suara kakek itu membuat telingaku terasa sakit karena teriakannya. Tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu seakan menunjukkan penyesalan. Jujur saja, tangisannya membuatku tak ingin lama-lama berdekatan dengannya karena aku takut ikut suasana hatinya.
Tepat di sampingku merendahkan badanku, ada satu lembar diantara lembar-lembar kertas yang berserakan di ruangan ini. Aku mengambilnya dan membacanya.

"Maafkan aku kak Ros, aku tak bermaksud membunuhmu. Aku sangat mencintaimu kak Ros. Jangan tinggalkan aku"

Itu adalah kata-kata yang tak ingin aku baca yang hanya akan membuat bulu kudukku berdiri. Aku mulai mengerti, ternyata dia adalah aku di masa depan. Dan aku adalah seorang pembunuh di masa depan. Dan aku adalah pembunuh kakakku. Aku menangis sejadi-jadinya pada saat itu juga.

Aku memaki kakek tua itu yang sama saja aku sedang memaki diriku sendiri.

"Kau pembunuh! Ya tuhan, kenapa kau lakukan ini pada kak Ros! Apa yang kau lakukan, brengsek!" Aku menangis, tapi aku menangisi kesalahanku di masa depan. Aku seorang pembunuh. Benar apa kata kakekku, ketika aku masuk ke dalam Dunia Ratapan, aku akan larut dalam kesedihan di dunia itu. Dan aku alami itu sekarang meskipun itu belum terjadi padaku saat ini.

"Kreeeeeek" suara dari pintu almari yang ada berada tepat di sebelah jendela itu. Di dalam sana ada pemandangan yang mengerikan untuk dilihat sekaligus aneh untuk dipahami. Sesosok mayat yang sama sekali tak aku kenali. Sosok mayat laki-laki yang terbujur kaku dengan pisau yang menancap pada perutnya.

By. Saimo Am-mattobi'i


An Old City

What I had in my mind about an old city is about a place that had experienced the war in the past or about colonialism that had ever occupied a land encompassing this place, a long time ago.

This old city is one of the beautiful places and this is like paradise for the tourists to visit this place their holiday vacations. It was so green and wide landscape as long as we saw from the corner or midst. This is one of beautiful places in the world. I think. If I had some pilgrimages to some holy places in this city, I never missed my map in my hand. I thought, it will never be something pleasant to stray into wrong path in my little adventure if I had no map in my hand.

One day, I met an old man on the street of Breakwall. I intended to say hello to him because I was a new comer of this old city. With trepidation, he responded my say hello with his slightly smile as his formality custom. I knew he did that because he thought that i was a stranger and he might reluctant to have any chatting phase with "strange young man dude" like me.

However, people here were friendly in my sight just for a while until i got this old man's respond. I said in mumble to my heart, "Am I that too dangerous for this man? Or am I one of vice ring that want to abduct this guy or else?". Yes, this is my inevitability to analyze something or to what I was experiencing negatively.

"Hey, dude. Are you looking for something?", a handsome young man approached me from a distance.

"Oh, yes. I'm new comer here and I'm looking for this place". I pointed out the small picture of building on my map.

“Well, I think that you have a wrong direction, dude. This way only leads to you to a market place". He said firmly to convince me that it was true. "You have to go to here, then you walk toward this place, and you'll find your destination". he put his index finger to spot I was standing and drag it upon the dot picture a little far from my place on the map.

"Oh god, you save me. I'm really happy with your help, dude." I was thankful to his remarkable enlightment.

"I'm Evan. What's your name?". Said this handsome young man swope my gleaming face in a while with his decorous question. I forgot to introduce myself in minutes before.

"I'm Brian".

I thought that i had to change my mindset again about people in this city about an arogance before I met him. Evan.

I knew that those civilians were friendly but that old man only as an exception. I had to think about the frailty that made that old man seemed to be afraid of me. He might be a veteran that had a lot of experiences those were related to strangers or He thought that strangers were related to colonialism that will occupy his land, might be.

By. Saimo Am-Mattobi'i